Kebijakan Penetapan Kawasan Hutan di Lahan Sawit HGU Meresahkan Petani dan Pengusaha



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah pemerintah memasukkan lahan sawit dengan izin Hak Guna Usaha (HGU) dalam kawasan hutan meresahkan kalangan petani dan pengusaha. Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini dinilai secara serampangan memasukkan lahan sawit ke dalam Kawasan Kehutanan.

Pengusaha Sawit yang juga Komisaris Paya Pinang, Kacuk Sumarto mengatakan, kebijakan tentang penataan perkebunan kelapa sawit yang memasukkan kebun sawit ke dalam Kawasan Hutan memicu rasa was-was di kalangan petani dan pengusaha.

"Dengan adanya batasan ketentuan ini, ada rasa wasawa dari pelaku usaha, terkait keberlangsungan usahanya. Ketidakpastian ini akan berdampak pada rasa ketidaksenangan usaha dan keamanan investasi itu sendiri," ujar Kacuk, Selasa (31/10).


Menurutnya, pemerintah harus memperhatikan permasalahan di lapangan dengan keresahan yang ada di masyarakat dan pengusaha yang memicu kriminalisasi, yakni sejak kebun sawit dimasukan dalam kawasan hutan.

Selama ini menurutnya banyak perkebunan kelapa sawit yang sudah mendapatkan HGU dengan proses panjang dan secara benar sesuai ketentuan undang-undang, namun kenapa kemudian oleh KLHK dimasukkan ke dalam Kawasan Kehutanan.

"Ini persoalan penting, tak sebatas soal denda administrasi (yang hendak diberlakukan oleh pemerintah, red). Yang perlu diingat adalah jangan menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum. Penuhilah dahulu hukum-hukumnya, baru itu ditegakkan," ujar Kacuk.

Ia meminta pemerintah jangan hanya menyalahkan saja. Harus menunjukkan secara jelas pelanggaran apa yang terjadi, dan pelanggaran terhadap apa? Juga harus jelas kawasan hutan yang mana yang dilanggar dan bagaimana pelanggaran itu bisa disebut pelanggaran.

Menurut Kacuk, banyak perusahaan yang mendapatkan HGU dengan proses melelahkan, tertib, dan mengikuti proses secara benar sesuai peraturan perindang-undangan.

Padahak dalam UU itu HGU sudah melewati beberapa syarat. Saat awal harus itunjuk dulu, setelah pemilik izin HGU itu diukur tapal batasnya, kemudian diklarifikasi di lapangan, baru dikukuhkan. Status dikukuhkan inilah maka perusahaan itu sudah secara sah dan legal mempunyai HGU dan dengan dokumen negara sah.

"Nah, fakta di lapangan, mohon maaf ini ugal-ugalan. Pemerintah dalam hal ini kLHK ugal-ugalan. Dia hanya menunjuk saja Kawasan Hutan. Sekali lagi Kawasan Hutan ditunjuk saja tanpa diukur dan sebagainya, lalu dipakai sebagai produk hukum yang mengenakan sanksi-sanksi tadi. Ini persoalannya," tukas Kacuk.

Kacuk mengakui ada segelintir perusahaan yang ugal-ugalan dan tidak mengikuti prosedur dengan benar, namun jangan lantas karena segelintir itu semua perusahaan dan perkebunan disalahkan.

"Banyak perusahaan yang betul-betul memenuhi ketentuan UU. Berdasarkan UU Agraria itu untuk mendapatkan HGU panjang, meleset sedikit tidak dapat, karena syarat-syaratnya harus dilengkapi," tandas Kacuk.

Ia pun menegaskan bahwa dalam proses penetapan batas-batas dan keluarnya HGU itu, pihak pemerintah dalam hal ini KLHK juga ikut terlibat.

"Dan dalam proses (terbitnya HGU) itu LHK itu tutur serta. Mbo ya kalau dia gak setuju jangan dikasih sejak awal. Sekarang kan ibarat meludah dijilat sendiri," tegas Kacuk.

Kacuk pun meminta jika ada persoalan atau perselisihan, harusnya dicarikan jalan keluar secara baik. Apalagi dalam penetapan Kawasan Hutan ini juga banyak persoalan.

"Kalau ada suatu persengektaan dengan perusahaan, mbok lihat dulu lah, betul enggak ini HGU nya. Tanya BPN. Kalau sudah ada bener enggak ini kawasan hutan," lanjutnya.

Sementara itu, Pakah Hukum Kehutanan, Sadino, menjelaskan kisruh tentang lahan sawit dan Kawasan Hutan ini adalah problem yang terjadi sejak lama, namun normanya belum terselesaikan, sehingga terjadilah dispute (sengketa).

Sadino mengatakan, sebenarnya di luar UU Kehutanan di Indonesia ada juga UU tentang Penataan Ruang. Jadi sejak lahan-lahan ditunjuk itu sebenatnya sudah masuk tata ruang, dimana ditetapkan ada kawasan hutan dan non kawasan hutan.

"Jadi tentu mayoritas perusahaan perkebunan yang lahir dan berkembang sebelum tahun 2000-an itu lahir karena memang ada tata ruang itu. Kalau sudah tata ruang artinya dibolehkan. Akhirnya, antara tata ruang dan kehutanan tidak pernah titik temu. Karena petanya masing masing," jelas Sadino.

Sadino mengaku mendukung dibentuknya Satgas Penataan Perkebunan Kelapa Sawit, supaya dapat menyelesaikan dispute (sengketa) lahan sawit dan Kawasan Hutan.

Harapannya, lanjut Sadino, tentu mengacu pada yang eksisting, artinya kalau memang dulu dasar hukumnya adalah legal, ya jangan sekarang langsung dikatakan tidak legal.

Dalam menyelesaikan persoalan ini, Sadino menyebut ada tiga status yang harus dipilah-pilah. Pertama, kawasan yang sudah ada hak atas tanah. Kedua, yang belum ada hak atas tanah tapi ijinnya ada. Dan ketiga, yang memang tak ada ijin sama sekali, alias merambah hutan. Dan ini silahkan disikat saja.

Maka itulah, Sadino menyebut sejak ada UU Cipta Kerja diatur, apabila anda punya perkebunan yang sudah terbangun dan anda punya ijin lokasi dan atau IUP, maka dia diberikan waktu menyelesaikan hingga 2 November 2023.

"Ini (Ijin lokasi dan atau IUP, red) adalah ijin awal dalam perkebunan. Tapi kalau sudah HGU, itu sudah final dan menjadi dokumen negara. Jadi (yang ditata, red) yang punya ijin lokasi dan IUP. Kalau sama sekali tak ijin baru langsung (disikat, red)," tuntas Sadino.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Lamgiat Siringoringo