Kebijakan redenominasi masih gamang



JAKARTA. Pemerintah masih gamang menentukan waktu pelaksanaan kebijakan penyederhanaan pecahan mata uang rupiah alias redenominasi. Bank Indonesia (BI) menyatakan, belum akan menjalankan redenominasi dalam waktu dekat karena membutuhkan persiapan lebih panjang untuk sosialisasi agar hasilnya positif.

Deputi Geburnur BI Halim Alamsyah mengatakan, kebijakan redenominasi tidak berdampak besar terhadap daya beli masyarakat dan kenaikan atau penurunan nilai tukar rupiah. Tapi, tetap membutuhkan proses panjang dan sosialisasi agar masyarakat memahami tujuan dari kebijakan tersebut.

Menurut Halim, redenominasi sebenarnya hanya berupa pemotongan tiga digit angka nilai mata uang dan bertujuan untuk mengefisiensikan penggunaan rupiah. "Ini untuk efisiensi, yang mana uang sebesar Rp 50 juta tidak perlu dibawa dalam tas yang besar dan bisa digantikan dengan segenggam uang saja," ujarnya mengibaratkan, Kamis (23/5).


Seperti diketahui, pemerintah dan BI berencana menjalankan tahapan redenominasi dalam tiga bagian. Pertama, tahap persiapan yang berlangsung selama tahun 2013. Kedua, tahap transisi yang berjalan mulai 2014 hingga 2016. Ketiga, tahap kelar (phasing out) antara tahun 2017-2020.

Nah, untuk menjalankan redenominasi diperlukan payung hukum yang sekarang sedang dibahas."Saat ini RUU tentang Redenominasi sudah masuk Prolegnas DPR, namun masih belum jelas kelanjutan pembahasannya," ungkap Halim.BI juga belum bisa memastikan kelanjutan pembahasan RUU Redenominasi di DPR. Sebab itu, pemerintah dan BI melalui Komite Nasional Redenominasi masih melakukan uji publik guna menjaring masukan dari masyarakat sekaligus menghimpun dukungan.

Yang pasti, Halim menyebutkan, idealnya kualitas mata uang akan bertahan selama jangka waktu enam sampai tujuh tahun ke depan. Atau pada 2020 mendatang baru bisa dimanfaatkan untuk penerapan redenominasi dengan memasukan pecahan mata uang yang baru.

Direktur Eksekutif Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral BI Iskandar Simorangkir mengakui, penerapan redenominasi bisa memicu risiko ilusi uang. Ihwalnya, masyarakat menganggap harga barang di pasaran menjadi lebih murah. "Ini juga menimbulkan aksi pembulatan harga ke atas yang berpotensi meningkatkan inflasi," ujarnya.

Iskandar bilang, nantinya satu tahun sebelum penerapan redenominasi pemerintah akan menerapkan dua harga di setiap penjualan barang di pasaran yaitu mencantumkan harga satuan lama dengan satuan hasil redenominasi. Pemerintah juga akan meningkatkan pengawasan untuk mencegah terjadinya pembulatan harga ke atas yang terlalu tinggi. "Perlu sanksi tegas setiap pelanggaran oleh pelaku usaha agar inflasi tidak tinggi," tegasnya.

Tapi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai Indonesia belum siap menerapkan redenominasi. "Neraca perdagangan masih defisit, layanan industri juga defisit di tambah belum stabilnya kondisi makro ekonomi serta politik," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan