KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan iuran wajib 3% untuk program tabungan perumahan rakyat (tapera) masih menuai pro kontra. Direktur Ekonomi Center of Economic adn Law Studies (Celios) Nailul Huda menghitung kebijakan Tapera ini justru dapat menyebabkan penurunan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 1,21 trilun. Selain itu, berdasarkan perhitungan Celios menggunakan model input-output juga menunjukan, surplus keuntungan dunia usaha turut mengalami penurunan sebesar Rp 1,03 triliun.
Sementara, pendapatan pekerja turut terdampak dengan kontraksi sebesar Rp 200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat juga berkurang dan menurunkan permintaan berbagai jenis sektor usaha. "Jadi wajar terdapat penolakan dari dunia usaha hingga asosiasi driver ojek online," ungkap Huda dalam keterangannya, Senin (3/5). Baca Juga: Partai Buruh dan KPSI akan Gugat Payung Hukum Tapera ke MK dan MA Huda juga mencermati dampak selama kebijakan Tapera berjalan adalah masalah backlog perumahan yang belum dapat diatasi. Bahkan jika ditarik lebih jauh ke model Taperum, masalah backlog perumahan ini memang tak menunjukan perbaikan. “Adapun alasan backlog sempat alami penurunan lebih disebabkan oleh perubahan gaya anak muda yang memilih tidak tinggal di hunian permanen atau berpindah-pindah dari satu rumah sewa ke rumah lainnya," ungkap Huda. Sekedar pengingat, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Berdasarkan belied itu, besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Rinciannya 0,5% ditanggung pemberi kerja dan 2,5% ditanggung pekerja.