Kebijakan Trump Berpotensi Tekan Rupiah dan Obligasi Indonesia



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Terpilih Donald Trump berpotensi mengurangi minat investasi di mata uang dan obligasi negara berkembang, termasuk Indonesia. Investor bakal lebih berhati-hati dan lebih memilih instrumen investasi di Amerika Serikat (AS).

Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C Permana menilai, tentunya Trump menjadi kekhawatiran pasar keuangan global terutama ketidakpastian mengenai kebijakan yang bakal diambil. Pasar masih menantikan lebih lanjut kebijakan Trump yang baru akan dilantik pada 20 Januari 2025 mendatang.

Fikri mencontohkan, kemungkinan adanya kebijakan pemotongan tarif pajak perusahaan di AS akan memicu fluktuasi yang tinggi di pasar keuangan. Sentimen ini dipandang bakal membatasi penurunan inflasi AS tahun depan.


Dengan penurunan inflasi yang terbatas, maka kemungkinan petunjuk pemangkasan suku bunga Fed Rate akan lebih sedikit. Apalagi jika Bank Sentral Eropa (ECB) dan juga Bank Sentral Inggris (BoE) memangkas suku bunga lebih besar, maka dolar AS bakal tetap kuat.

Baca Juga: Rupiah Keok ke Rp16.000, BI: Masih Lebih Baik Dari Negara Lain

Menurut Fikri, pemangkasan suku bunga acuan Fed Rate di tahun depan diperkirakan tetap ada, namun tidak akan sesuai ekspektasi pasar sebesar 100 basis poin. Bank Sentral AS diperkirakan hanya memangkas sekitar 50-75 bps di tahun 2025.

Dengan begitu, maka Bank Indonesia (BI) juga akan kesulitan untuk memangkas suku bunga acuan. BI kemungkinan akan mengikuti jejak the Fed untuk memangkas suku bunga di level yang sama.

Untuk pekan depan, Fikri memperkirakan, The Fed dan BI sama-sama akan menutup tahun 2024 dengan pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps. Namun, apabila depresiasi rupiah terus berlanjut, maka BI bisa saja menahan suku bunga di level 6%.

‘’Adanya ketidakpastian kebijakan dan juga ekspektasi USD menguat, pastinya investor akan memindahkan dananya kembali ke dolar AS atau ke safe haven aset lainnya. Tidak hanya rupiah atau obligasi domestik, namun hampir semua mata uang global akan terkena imbas, dan bahkan yield global juga mengalami peningkatan,’’ jelas Fikri saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (15/12).

Pelemahan obligasi dan mata uang domestik pun sudah terlihat saat ini di tengah ekspektasi suku bunga dipangkas lebih lambat tahun depan. Yield SUN Tenor acuan 10 tahun telah bergerak di level atas 7%. Sementara, nilai tukar rupiah ditutup koreksi di atas Rp 16.000 atau tepatnya Rp 16.008 per dolar AS, Jumat (13/12).

Di samping itu, Fikri menyoroti, penerbitan surat utang negara (SUN) dalam jumlah besar di tahun depan juga bisa menjadi risiko khususnya bagi pelemahan yield obligasi. Imbal hasil atau yield obligasi berpotensi naik yang mengindikasikan tekanan, apabila suplai surat utang di pasar tidak terserap dengan baik.

Baca Juga: Arah IHSG dan Rekomendasi Saham Pilihan di Pekan RDG BI & FOMC The Fed

Kondisi ketidakpastian terkait kebijakan dan arah suku bunga AS di tahun depan, berpotensi menyebabkan aliran keluar (outflow) asing dari pasar keuangan domestik, baik saham maupun obligasi. Bila investor asing keluar ataupun berhati-hati masuk ke Indonesia, maka penyerapan SUN bakal rendah.

Fikri melihat, solusi yang dapat ditempuh yakni melakukan penerbitan obligasi dalam mata uang asing. Selain dolar ataupun euro, Bank Indonesia mungkin bisa mempertimbangkan terbitkan obligasi dalam mata uang yang belum pernah seperti Arab Saudi agar bisa membuka potensi pasar baru.

‘’Karena mungkin salah satu hal yang bisa kita lakukan sekarang adalah diversifikasi dari mata uang dan juga dari calon pembelinya,’’ sebut Fikri.

Mata uang Rupiah juga tidak dipungkiri berpotensi melemah karena adanya ketidakpastian dari AS. Secara fundamental, rupiah juga dibebani ekonomi yang lesu salah satunya tercermin dari Defisit Transaksi Berjalan masih berlanjut.

Ditambah lagi, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) belum optimal. Minat asing juga masih rendah di tengah berbagai instrumen yang telah ditawarkan seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Dengan berbagai faktor tersebut, Fikri mencermati, rupiah akan mengalami depresiasi lebih lanjut di tahun depan. Rupiah berpotensi bergerak di kisaran Rp 16.000 – Rp 16.100 per dolar AS pada 2025.

‘’Itupun dengan asumsi bahwa nanti di akhir tahun akan ada sedikit kenaikan inflow ke dalam negeri didorong karena The Fed memangkas suku bunga, dan juga orang sudah melihat kebijakan Trump-nya seperti apa,’’ imbuh dia.

Baca Juga: Pasar Menanti Rapat The Fed, IHSG Diproyeksikan Bergerak Melemah, Senin (16/12)

Sementara itu, yield SUN 10 tahun sebagai acuan diperkirakan berkisar 6,5% di tahun depan. Imbal hasil obligasi tanah air bisa turun atau menguat, bila risiko dari kekhawatiran kebijakan Trump berkurang.

Sisi positifnya ialah penurunan Fed Rate dan BI rate, meskipun pemangkasan suku bunga relatif lebih kecil. Selain itu, Trump menunjuk Scott Bessent sebagai Menteri Keuangan yang dipandang stabil dalam pengambilan kebijakan.

‘’Tetapi sekali lagi kita baru akan lihat pelantikan Trump di 20 Januari mendatang. Kita juga harus tunggu dulu kira-kira kebijakan dari Menteri Keuangan AS seperti apa,’’ pungkas Fikri.

Selanjutnya: OJK Imbau Masyarakat Bijak Gunakan Pinjaman Online Jelang Libur Nataru

Menarik Dibaca: Daerah Ini Alami Hujan Petir, Simak Prakiraan Cuaca Besok (16/12) di Jawa Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari