KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia masih getol mengimpor gula dalam jumlah besar sampai saat ini. Tren demikian kemungkinan akan terus berlanjut seiring tingginya kebutuhan gula di dalam negeri, terutama untuk sektor industri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia telah mengimpor 3,66 juta ton gula senilai US$ 2,15 miliar atau setara Rp 33 triliun (asumsi kurs Rp 15.500 per dollar AS) selama periode Januari-September 2024. Mayoritas impor gula Indonesia berasal dari Brazil sebanyak 2,13 juta ton atau senilai US$ 1,23 miliar. Setelah itu, diikuti oleh Thailand sebesar 920.000 ton (US$ 553,43 juta) dan Australia sebesar 500.000 ton (US$ 283,51 juta).
Tenaga Ahli Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Yadi Yusriadi mengatakan, impor gula Indonesia didominasi oleh komoditas gula rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri.
Baca Juga: Jumlah Pasti Kerugian Negara di Kasus Tom Lembong Masih Dihitung Kejagung AGI mencatat bahwa kebutuhan gula di Indonesia berada di kisaran 6,3 juta ton--6,7 juta ton setiap tahun. Indonesia hanya mampu memproduksi gula secara mandiri sekitar 2,3 juta ton per tahun. Alhasil, setiap tahun Indonesia mesti mengimpor lebih dari 4 juta ton gula. Dari total kebutuhan impor gula tersebut, sekitar 0,8 juta ton sampai 1 juta ton di antaranya berupa gula konsumsi dalam bentuk gula kristal putih (GKP) atau gula kristal merah (GKM). Adapun sisanya adalah impor gula rafinasi untuk memenuhi permintaan industri. "Tapi untuk impor gula konsumsi berupa GKP ada kecenderungan penurunan karena efek pelemahan daya beli dan isu kesehatan," ujar Yadi kepada KONTAN, Kamis (31/10). Dia menambahkan, kebutuhan gula rafinasi diperkirakan terus meningkat seiring tumbuhnya permintaan dari industri makanan dan minuman.
Impor perlu hati-hati
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki pabrik gula rafinasi, meski bahan bakunya (
raw sugar) tetap harus diimpor. Selain itu, beberapa pabrik gula berbasis tebu di Indonesia juga telah mampu menghasilkan produk gula rafinasi. "Namun, kebutuhan GKP-nya saja masih kurang, sehingga tetap harus impor," tutur Yadi. Lebih lanjut, AGI memastikan para produsen gula berbasis tebu terus berupaya meningkatkan kemampuan produksinya, baik melalui intensifikasi budidaya tebu maupun ekstensifikasi berupa perluasan area perkebunan. "Di samping itu, ada upaya pengembangan area tanam yang baru di Merauke," imbuh dia. Sementara itu, Ketua Umum DPN Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan, langkah impor gula sebaiknya dilakukan secara hati-hati. Sebab, sepanjang bulan Oktober 2024 harga GKP tingkat petani mengalami tren penurunan sekitar Rp 300--Rp 400 dibandingkan bulan sebelumnya. APTRI menyebut, sebelum impor dilakukan, pemerintah atau stakeholder terkait harus menghitung dengan cermat kondisi stok gula nasional sejak saat ini sampai masa panen tahun depan. Jika stok gula masih cukup, sebaiknya impor jangan dulu dilakukan. "Petani akan dirugikan jika impor dilakukan saat stok gula nasional melimpah, karena kami kesulitan menjual dengan harga yang kompetitif," ungkap dia, Kamis (31/10). Selain itu, APTRI juga menyarankan agar gula yang telah diimpor dari berbagai negara tidak langsung didistribusikan ke pasar domestik. Penyaluran gula impor sebaiknya dilakukan ketika stok gula nasional mulai langka. Lebih lanjut, APTRI juga mengusulkan adanya cadangan gula nasional yang dibiayai oleh pemerintah melalui APBN. Jadi, sebagian gula hasil produksi lokal maupun impor dapat disimpan sebagai cadangan yang infrastruktur pergudangannya dikelola oleh BUMN-BUMN bidang pangan. Menurut Soemitro, gula merupakan komoditas yang relatif aman disimpan dalam jangka panjang, sehingga pengembangan cadangan gula nasional sangat memungkinkan. "Lagi pula kebutuhan gula untuk konsumsi rumah tangga sebenarnya bisa direm sewaktu-waktu, sehingga cadangan yang ada bisa tahan lebih lama," pungkas dia.
Baca Juga: Tata Niaga yang Kacau Menjadi Celah Korupsi Impor Gula Mentah Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati