Kebutuhan Dolar Tinggi, Rupiah Merosot



JAKARTA. Nilai tukar rupiah kembali longsor. Sampai pukul 21.24 WIB kemarin, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serikat (AS) melemah ke level Rp 11.575 per dolar AS. Malah, harga rupiah di pasar spot pada perdagangan pagi sempat mencapai Rp 11.738 per dolar AS.

Kekhawatiran investor bahwa krisis ekonomi global bakal semakin dalam serta aksi investor mengurangi portofolionya di emerging market adalah  faktor yang mendorong melemahnya nilai tukar rupiah. Di sisi lain, kebutuhan dolar AS di dalam negeri malah meningkat.

Para analis melihat permintaan terhadap mata uang Uwak Sam tersebut datang dari korporasi dalam negeri, baik perusahaan pelat merah maupun perusahaan swasta. "Mereka membutuhkan dolar untuk ekspor impor serta untuk membayar utang yang jatuh tempo," kata Farial Anwar, Direktur Currency Management Group kepada KONTAN, kemarin (12/11).


Farial mencontohkan kebutuhan valas untuk Pertamina. "Kebutuhan valas untuk BUMN sekelas Pertamina adalah sekitar US$ 100 juta per hari," terang Farial. Jumlah sebesar itu tentu akan mempersulit pemulihan nilai tukar rupiah.

Tambah lagi, persediaan dolar AS makin tipis. Maklum, penerimaan ekspor merosot akibat harga komoditas anjlok. "Walaupun permintaan tetap, kalau supply-nya berkurang, maka rupiah juga tetap akan tertekan," ujar Gottfried Tampubolon, Direktur Tresuri dan Institusi Keuangan Bank CIMB Niaga.

Sekadar catatan, sebenarnya pemerintah sudah berusaha mengatasi masalah kebutuhan dolar AS dari BUMN yang besar tersebut. Dalam 10 langkah menghadapi krisis yang dicetuskan Presiden SBY beberapa waktu lalu, BUMN harus menempatkan valas dalam clearing house (lembaga kliring).

Belum terlihat hasilnya

Lembaga yang dikelola Menteri Negara BUMN ini nantinya akan mencatat penghasilan, kebutuhan, dan transaksi valas BUMN. Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil mengatakan lembaga ini sudah mulai berjalan. "Kami sudah tempatkan orang di BUMN," ujarnya singkat.

Namun para pelaku pasar masih mempertanyakan efektivitas lembaga kliring untuk transaksi valas BUMN tersebut. Pasalnya, tetap saja nilai tukar mata uang garuda melemah. 

Sekretaris Menteri Negara Badan Umum Milik Negara (BUMN), Said Didu, menolak membeberkan kebutuhan dan ketersediaan valas di perusahaan BUMN. "Kami hanya menjalankannya saja," elak Said.

Sementara Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan (FSSK), Raden Pardede mengatakan, kebijakan lembaga kliring tersebut tidak bisa meredakan tekanan terhadap rupiah secara instan. Tapi setidaknya, kebijakan tersebut menertibkan lalu lintas valas di perusahaan-perusahaan BUMN. Ia menjelaskan, fungsi lembaga kliring itu lebih untuk mempertemukan permintaan dan ketersediaan valas antar BUMN. "Jadi mereka tidak mencari ke luar bila ada BUMN lain yang bisa menyediakannya," terang Raden.

Alhasil, analis melihat rupiah akan terus melemah sampai akhir tahun. Sebab, utang perusahaan yang jatuh tempo masih besar. "Sulit bagi rupiah untuk kembali ke bawah Rp 10.000 per dolar AS," kata Farial. Tanpa kebijakan BI maupun pemerintah yang lebih tegas dalam lalu lintas devisa, sudah pasti kurs rupiah akan terus terombang-ambing seperti ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie