JAKARTA. Ketua Gabungan Pengusaha Tahu dan Tempe Indonesia (Gapoktindo) Aip Syarifudin mengatakan, pengrajin tahu dan tempe membutuhkan 1,8 juta ton kedelai sepanjang tahun 2015. Kebutuhan ini akan lebih banyak dipenuhi oleh impor ketimbang produksi dalam negeri. Selama ini, papar Aip, rata-rata produksi kedelai dalam negeri hanya 400.000 - 500.000 ton per tahun. Ia membantah klaim Kementerian Perdagangan bahwa produksi kedelai nasional mencapai 950.000 ton. Aip berharap pemerintah segera memenuhi kebutuhan kedelai untuk pengrajin dengan menyediakan pasokan yang cukup.
Ketergantungan pada kedelai impor bisa menjadi masalah di saat mata uang rupiah melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) seperti sekarang ini. Dari September 2014 hingga awal Januari 2015, rupiah melemah cukup dalam yakni dari kisaran Rp 11.000 menjadi sekitar Rp 12.700 per dollar AS. Beruntung, pada saat bersamaan produksi kedelai di AS sedang melimpah lantara memasuki musim panen. "Jadi harga kedelai di AS lagi turun," terangnya kepada KONTAN, Selasa (6/1). Alhasil, harga kedelai impor hanya naik sekitar 7%.
Kenaikan sebesar itu, papar Aip, sejauh ini belum mengganggu roda bisnis para perajin tahu tempe. Saat ini, harga kedelai impor di Indonesia berada di kisaran Rp 8.000 hingga Rp 11.000 per kilogram. Timin, petani kedelai asal Nganjuk, menambahkan, saat ini harga kedelai lokal lebih murah ketimbang kedelai impor. "Harga di pasaran sekitar Rp 7000 per kg," ujarnya. Namun, para pengusaha tempe dan tahu belum bisa mengandalkan pasokan bahan baku pada kedelai lokal. Sebab produksi kedelai nasional masih rendah, ditambah lagi datangnya musim penghujan yang menyebabkan produksi kedelai tak bisa maksimal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News