Kebutuhan meningkat, PLN tetap andalkan DMO Batubara



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) membutuhkan tambahan pasokan batubara. Hal ini dikarenakan adanya penambahan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang siap beroperasi pada tahun ini.

Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso mengungkapkan, pada tahun ini setidaknya ada tiga PLTU baru yang akan beroperasi dengan kapasitas total sebesar 2.350 Megawatt (MW). Yang berasal dari PLTU Jawa 7 dan Jawa 8 masing-masing berkapasitas 1.000 MW dan PLTU Lontar dengan kapasitas 350 MW.

"Secara total (berbagai jenis pembangkit) ada banyak, yang kecil-kecil (kapasitasnya). Untuk PLTU yang besar, tiga PLTU itu," kata Iwan saat ditemui di Kompleks DPR RI, Senin (28/1).


Iwan mengatakan, ketiga PLTU itu ditargetkan siap beroperasi antara bulan September-Oktober. Ia bilang, setiap penambahan 1.000 MW, PLN membutuhkan tambahan 3,5-4 juta ton batubara dalam setahun. Alhasil, untuk tahun ini, PLN membutuhkan sekitar 96 juta ton batubara. Jumlah itu naik sebanyak 5% dari realisasi serapan tahun lalu yang sebesar 91,1 juta ton.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, kata Iwan, porsi batubara pun akan naik menjasi sekitar 56-58%. Jumlah itu naik dari porsi batubara dalam RUPTL sebelumnya (2018-2027) yang sebesar 54,4%.

Untuk memenuhi kebutuhan batubara itu, Iwan menyatakan bahwa PLN masih bergantung pada pasokan kewajiban dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) batubara.

Menurutnya, Kebijakan DMO sebesar 25% dengan harga US$ 70 per ton sangat membantu PLN untuk mecapai titik keseimbangan di tengah fluktuasi harga energi primer dan kebijakan untuk tidak menaikan tarif listrik. "Kan tarif listrik nggak boleh naik, berarti energi primernya ya disesuaikan," ungkapnya.

Namun, kebijakan DMO 25% dengan harga US$ 70 per ton itu akan berakhir pada tahun 2019 ini. Sehingga, Iwan berharap untuk tahun selanjutnya, masih akan ada kebijakan dengan skema serupa DMO ini.

Hanya saja, Iwan tidak setuju jika kebijakan DMO diganti dengan skema iuran dari perusahaan batubara seperti yang pernah diusulkan oleh sejumlah pelaku usaha. Sebab, Iwan beranggapan bahwa itu seolah-olah PLN disubsidi oleh perusahaan batubara.

"Kurang sehat, itu seperti kita disubsidi, padahal sebetulnya hak pemerintah bisa mengatur dan menetapkan harga, yang penting pengusaha nggak rugi," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia justru mengatakan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan kembali volume DMO sebesar 25%. Menurut Hendra, kenaikan permintaan (demand) pasar domestik secara keseluruhan belum signifikan.

Apalagi, berkaca pada realisasi tahun lalu, serapan batubara domestik hanya mencapai 21% atau sebesar 115,09 juta ton, dimana 91,14 juta ton diantaraya diserap untuk kebutuhan PLTU.

Hendra menilai, meski meningkat, namun kebutuhan batubara PLN pada tahun ini tidak naik signifikan, begitu juga dengan demand dari pasar domestik. "Pemerintah perlu mempertimbangkan lagi besaran 25% karena realisasi tahun lalu itu hanya sekitar 21% dan demand domestik meski meningkat tapi belum signifikan," jelasnya.

Kendala kedua, kata Hendra, terkait dengan perbedaan spesifikasi kalori antara perusahaan batubara dengan yang dibutuhkan PLN. Asal tahu saja, nilai kalori yang diperlukan untuk kelistrikan PLN berkisar pada 4.000 kcal/kg hingga 6.300 kcal/kg. "Sementara produksi batubara kan ada yang di atas 6.000 tapi banyak yang 3.500 kalori," katanya.

Menanggapi hal ini, Supangkat Iwan mengatakan, ketiga PLTU baru itu akan menggunakan batubara dengan kalori 4.000-4.2000. Sedangkan yang menggunakan batubara kalori tinggi lebih pada PLTU tua, seperti Tanjung Jati dan Paiton lama yang bisa disiasati dengan pencampuran (blending).

Adapun, secara keseluruhan, Iwan mengatakan progres megaproyek 35.000 MW akan meningkat dari 9% pada tahun lalu, menjadi 21% pada tahun ini. Sebab, PLN menargetkan akan ada penambahan kapastitas terpasang sebesar 3.923 MW, sehingga realisasinya bisa bertambah sebanyak 12%. "Tahun lalu kan 9%, kira-kira tahun ini bertambah 12, jadi (total) 21%," kata Iwan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini