KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebutuhan impor minyak di akhir tahun diperkirakan akan melonjak tajam. Hal ini sejalan dengan harga minyak yang masih tinggi dan juga efek dari pelemahan nilai tukar rupiah. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, saat ini harga minyak mentah masih bergerak fluktuatif di kisaran US$ 89-93 per barel untuk Crude Plam Oil (CPO) di pasar Spot. Sementara itu, kurs rupiah di pasar spot tertekan dan ditutup di level terburuk sepanjang di tahun 2023. Rabu (4/10), rupiah spot ditutup di level Rp 15.634 per dolar Amerika Serikat (AS).
Ini membuat rupiah melemah 0,34% dibanding penutupan hari sebelumnya yang berada di Rp 15.580 per dolar AS. Alhasil, rupiah pun menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia. Menurut Bhima, meningkatnya harga minyak yang diiringi melemahnya nilai tukar rupiah, akan berisiko menaikkan impor minyak yang cukup besar. Selain itu, lifting minyak setiap tahun cenderung mengalami penurunan produksi dalam negeri, sehingga mengakibatkan neraca perdagangan yang sebelumnya surplus, kemudian bisa berbalik ke arah defisit karena kebutuhan minyaknya cukup besar.
Baca Juga: Dilema BI Menghadapi Pelemahan Rupiah hingga Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Disamping itu, pemerintah juga menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax yang selisihnya sangat jauh jika dibandingkan dengan BBM bersubsidi atau Pertalite. Kenaikan harga Pertamax ini, kata Bhima, akan menyebabkan kuota pertalite meningkat tajam, sehingga harus dipenuhi dari impor. Seperti diketahui, Pertamina menaikkan harga Pertamax menjadi Rp 14.000 per liter. Jika dibandingkan dengan Pertalite (RON 90) yang saat ini masih Rp 10.000 per liter, maka harga keduanya selisih Rp 4.000 per liter. “Ini yang bisa membuat defisit perdagangannya akan mulai terlihat pada 3 bulan terakhir, tapi mungkin November dan Desember yang mulai kelihatan sekali, karena ada gap pengiriman harga baru dari impor minyak,” tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (4/10).
Kondisi ini, kata Bhima akan semakin buruk lantaran pelemahan rupiah akan terjadi semakin dalam, karena kebutuhan valuta asing (valas) untuk impor minyak sangat banyak. Selain itu, bisa juga menyebabkan adanya defisit anggaran kebutuhan subsidi BBM di akhir tahun. “Ini karena subsidi energi, karna minyak bukan hanya untuk BBM tapi juga untuk pembangkit listrik,” ungkapnya. Disamping itu, kenaikan harga komoditas yang biasanya mengikuti naiknya harga minyak mentah juga tidak akan bisa mengimbangi. Artinya, meskipun ada kenaikan harga pada batu bara dan CPO, namun tidak bisa mengimbangi kecepatan naiknya harga minyak mentah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari