Kebutuhan valas meningkat, rupiah kembali melemah



JAKARTA. Nilai tukar rupiah kembali melemah. Kemarin, Bank Indonesia mencatat, kurs tengah berada di level Rp 11.706. Fluktuasi tersebut dikhawatirkan akan berpengaruh pada utang jatuh tempo di akhir 2013.

Dari data Statistik BI, untuk rencana pembayaran utang luar negeri pada periode Oktober-Desember 2013 mencapai US$ 21,03 miliar Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo pun mengakui secara historikal kebutuhan valas khususnya dollar Amerika Serikat pada akhir tahun tinggi karena adanya pembayaran utang jatuh tempo.

Namun, BI belum berniat untuk masuk ke pasar guna memenuhi permintaan dollar karena saat ini sudah terjadi tren perlambatan akan kebutuhan mata uang hijau tersebut. Apalagi, "Di November, kebutuhan dollar dibanding bulan lalu sudah lebih rendah sekitar 30%," kata Agus, Jumat (22/11).


Ditambah untuk pembayaran utang di akhir tahun, biasanya perusahaan sudah memiliki cadangan dollar untuk pembayaran tersebut. Jadi diharapkan pada bulan Desember tidak terjadi tekanan yang lebih dasyat pada nilai tukar rupiah. Agus pun menganggap nilai tukar rupiah saat ini masih wajar. Tren pelemahan terjadi akibat perkembangan dunia dari hasil FOMC meeting yang memperkirakan AS membaik.

"Semua negara terkena dampaknya. Tidak hanya Indonesia," ujarnya. Karena itu BI belum berniat masuk kembali ke pasar dan menyerahkan likuiditas pasar pada suplai dan demand. Namun, ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menilai tekanan pada rupiah sayang saat ini terjadi juga akibat banyaknya importir yang mencari dollar akibat ketakutan bulan depan nilai tukar rupiah lebih anjlok.

"Banyak yang khawatir, seharusnya mereka belum mencari dollar sekarang karena kebutuhannya kan masih bulan depan," katanya. Dengan kondisi saat ini, Lana melihat sudah waktunya bagi investor yang mengepit dollar, mulai menjualnya. Sehingga tekanan pada rupiah cenderung turun. Walaupun begitu, hingga akhir tahun Lana melihat potensi rupiah kembali menguat ke level 11.300 masih ada. Disisi lain, BI pun sudah melakukan himbauan kepada perusahaan swasta yang memiliki utang luar negeri. Apalagi pada bulan September, jumlah utang swasta jangka pendek meningkat 19,2% dibandingkan dengan tahun lalu atau menjadi US$ 40,09 miliar.

"Dengan volatilitas nilai dollar dan rupiah cukup dinamis membuat swasta lebih berhati-hati lagi seandainya pinjaman dalam bentuk valas," pungkas Agus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan