Kedaulatan pangan mulai panen keraguan



Ingar-bingar kabar beras palsu terbuat dari plastik mulai tenggelam. Terutama, sejak pemerintah mengumumkan hasil laboratorium dari empat lembaga, yaitu laboratorium forensik Polri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Perdagangan, dan laboratorium Kementerian Pertanian. Hasilnya, beras sampel temuan Dewi Septiani di Bekasi yang juga diuji PT Sucofindo dinyatakan negatif mengandung plastik, Selasa (26/5).

Padahal, sebelumnya, Sucofindo bersama Pemerintah Kota Bekasi menyatakan, beras yang dibeli Dewi dari penjual Pasar Tanah Merah, Kompleks Mutiara Gading Timur, Bekasi, Jawa Barat, positif mengandung senyawa polyvinyl chloride alias PVC, Kamis (21/5) yang berbahaya jika dikonsumsi.

Beras, mudah dilanda berbagai macam isu. Maklum saja, 250 juta jiwa di Indonesia, mayoritas adalah konsumen setia beras. Pertanyaannya, setelah isu beras plastik ini ditepis, apa yang muncul ke permukaan setelahnya? Jawabnya, tata niaga beras dan, terutama, keamanan pangan di Indonesia masih sangat lemah.


Kita ingat, sebelum beras plastik mengemuka, harga beras sempat mumbul hingga 30% pada bulan Februari lalu. Lantas, ketergantungan impor beras, serta fungsi Perusahaan Umum (Perum) Bulog masih mandul. Misalnya, pengadaan beras yang tak memenuhi target. Demikian kritik Moch. Maksum, Peneliti Senior Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan sekaligus Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada.

Darurat pangan

Tentu, bolong di sana sini di bidang pangan itu jadi miris sekali jika membandingkan data terbaru Organisasi Kesehatan Dunia alias World Health Organization, yang menyatakan, sekitar 2 juta korban telah meninggal dunia akibat makanan tak aman. Dari total korban itu, sebagian besar adalah anak-anak. Di Indonesia, berdasarkan laporan BPOM 2009–2013, terjadi 10.700 kasus kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan. Dari jumlah kasus tersebut, 411.500 orang sakit dan 2.500-an orang meninggal dunia. Kerugian ekonomi akibat keracunan pangan itu total mencapai Rp 2,9 triliun!

Padahal, menurut Purwiyatno Hariyadi, Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Direktur Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (Seafast), keamanan dan tata niaga pangan sangat menentukan daya saing berikut kondisi ekonomi bangsa. Jika keamanan pangan baik, maka status kesehatan akan meningkat. Ujung-ujungnya, mendongkrak sumber daya manusia.

Apalagi, kini sedang ngetren, pangan jadi alat negosiasi baru di antara negara-negara di dunia. Jika Indonesia, yang terkenal sebagai produsen beras terbesar ketiga di dunia tak mampu mengelola keamanan dan tata niaga beras, itu artinya bukan hanya tak bersaing di kancah dunia tapi program “kedaulatan pangan” Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) bisa kandas.

Tak heran jika Guru Besar Universitas Santo Thomas Sumatra Utara Posman Sibuea pesimistis dengan program Jokowi mewujudkan kedaulatan pangan. Gejolak harga beras masih akan terus terjadi karena ruang para pemodal besar pemain beras masih lebar, sementara serapan pemerintah sangat sedikit. Karena itu, Bulog harus mampu menyerap lebih banyak. “Misalnya, swasta membeli Rp 4.500 (per kilogram). Lalu, mengapa pemerintah tak bisa membeli dengan harga Rp 4.800? Bila perlu sampai Rp 6.000 lalu dijual dengan harga Rp 3.000,” tegas Posman.

Posman mengusulkan, adanya tim khusus seperti di bidang tata kelola minyak dan gas. Katakanlah, Tim Reformasi Tata Kelola Pangan. Maklum, bukan hanya soal keamanan dan tata niaga saja yang masih amburadul, tapi juga infrastruktur pendukung industri pangan yang masih berantakan dan rusak.

Beberapa masalah seputar pangan adalah pertama, lahan makin terbatas. Hasil audit terbaru Kementerian Pertanian menyebut, luas sawah di Indonesia 8.132.346 hektar (ha). Indeks pertanaman rata-rata nasional 140% dan produktivitas rata-rata padi 5,13 ton/ha.

Kedua, ketersediaan air dan infrastruktur. Data terakhir Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR) menyebut, sawah berjaringan irigasi hanya seluas 7.145.168 ha, tingkat kerusakan jaringan irigasi primer dan sekunder seluas 3.288.993 ha, serta kerusakan jaringan tersier seluas 2.069.484 ha.

Ketiga, tenaga kerja di sektor pertanian yang makin menyusut. Maklum, upah kerja di sektor pertanian di bawah rata-rata. Ini masih diperparah peralatan pertanian yang terbatas.

Keempat, permodalan petani yang tidak cukup kuat, pengetahuan dan pengembangan teknologi yang minim sehingga susut hasil (loss) panen masih besar. Benih dan kebutuhan pupuk yang masih terbatas juga turut menambah daftar jumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Jokowi–JK.

Soal beras dan gemparnya “beras plastik”, Posman menegaskan, pemerintah jangan stop pada pengumuman saja, tapi, mengusut tuntas kasus itu. Pemerintah juga harus fokus pada persoalan diversifikasi pangan sesuai Peraturan Presiden Nomor 22/2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. “Salah satu contoh diversifikasi pangan misalnya dengan beras sintetis alias beras analog,” timpal Purwiyatno (lihat boks).    

Kita butuh beras sintetis Jauh sebelum muncul isu beras palsu di Bekasi, sebenarnya empat universitas sudah mengembangkan jenis beras sintetis. Empat lembaga pendidikan itu antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Santo Thomas Sumatera Utara, Universitas Jember, dan Universitas Sriwijaya.

Di lingkungan ilmu pangan internasional, ada banyak ragam penyebutan, seperti artificial rice, analog rice, simulated rice, atau formulated rice. IPB menyebutnya beras analog, sementara Universitas Jember menamainya beras cerdas.

Intinya, mereka menciptakan beras buatan dari bahan-bahan yang mengandung karbohidrat, semisal ubi atau sorgum. “Itu penyusun dasarnya. Namun, kita bisa menambahkan beberapa kandungan gizi lain juga dan menyesuaikan dengan kebutuhan,” ujar Purwiyatno Hariyadi, akademisi IPB dan Direktur Seafast.

Lewat proses pencampuran, pengulenan, serta pemotongan, bahan-bahan karbohidrat bisa ditambahkan antioksidan atau berbagai vitamin. Seberapa mendesak kita butuh beras buatan ini? "Urgent sekali, mengingat jumlah penduduk cepat bertambah, lahan pertanian menyusut, dan persoalan gizi," ujar dia.

Laporan Utama MIngguan Kontan No. 36-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi