Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi krisis tingginya harga kedelai. Sayang, kebijakan ini tak bisa otomatis menurunkan harga karena pasokan kedelai sangat dipengaruhi beberapa faktor yang perlu solusi jangka panjang.Aksi mogok para produsen tempe dan tahu selama tiga hari sampai akhir pekan lalu memaksa pemerintah bergerak. Menjawab aspirasi para produsen tempe tahu yang mengeluhkan harga kedelai yang makin tinggi sejak Mei 2012 lalu, lewat Kementerian Perdagangan (Kemendag), pemerintah memberi solusi.Pertama, menghapus bea masuk impor kedelai dari 5% menjadi 0% mulai Agustus hingga Desember 2012, sebagai solusi krisis kedelai dalam jangka pendek. Kedua, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan juga menyebutkan bahwa pemerintah akan memfasilitasi Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Kopti) untuk mengimpor kedelai sendiri, termasuk kemungkinan kerjasama dengan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog).Meski pemerintah berharap solusi jangka pendek itu begitu manjur, para pelaku industri kedelai menganggap kebijakan ini kurang efektif. Menurut Sutaryo, Ketua Umum Induk Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Inkopti), penghapusan bea masuk tak serta-merta bisa dinikmati oleh para perajin tempe dan tahu. Sebab, kebijakan itu baru berlaku untuk kedelai impor yang masuk mulai 1 Agustus 2012. “Pengaruhnya ke harga baru bisa dirasakan pada September atau Oktober nanti,” tuturnya.Faktor lain yang tak kalah penting, ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor menjadikan industri pengguna kedelai terbelenggu oleh harga komoditas ini di pasar global. Maklum, hampir 90% kebutuhan kedelai dalam negeri masih harus dipasok dari beberapa negara, terutama Amerika Serikat (AS) dan Amerika Selatan. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2011, total produksi kedelai produksi dalam negeri hanya mencapai 851.286 ton atau memasok 29% dari total kebutuhan dalam negeri yang mencapai hampir 2,6 juta ton (lihat tabel).Alhasil, sisa kebutuhan ditutup oleh kedelai impor yang mencapai 2,09 juta ton. Hampir 80% di antaranya berasal dari AS (1,85 juta ton). Oleh karena itu, kondisi di negara penghasil kedelai sangat berpengaruh pada pasokan dan harga. Tren kenaikan harga kedelai saat ini, misalnya, dipicu oleh kekeringan di sebagian wilayah AS, termasuk di sebagian setra pertanian. Departemen Pertanian AS menyatakan, 1.300 kota di 29 negara bagian mengalami kekeringan sehingga mengakibatkan kondisi lahan berada pada level terburuk sejak 1988. Saat itu, produksi kedelai negara itu anjlok 20% dibanding tahun sebelumnya.Katakanlah kekeringan di AS tidak terjadi. Problem lain yang menggelayuti industri pengguna kedelai adalah tata niaga kedelai masih dikuasai oleh beberapa perusahaan. Ada empat importir besar dan beberapa puluh distributor yang leluasa menentukan harga. Jadi, tidak mudah mengubah sistem perdagangan yang sudah mengakar ini.Nah, bila pemerintah bakal memberikan fasilitas impor kepada Kopti, termasuk jika bekerjasama dengan Bulog, apakah sinergi ini mampu mengimbangi dominasi para importir besar? Maklum, yang butuh kedelai tak cuma pengusaha tahu tempe, tapi juga pengusaha makanan, pabrik kecap, bahkan pabrik pakan ternak.Ingin harga stabilSejatinya, tujuan para perajin tempe dan tahu mogok hanya satu: meminta agar harga kedelai lebih stabil. Sutaryo yakin, jika komoditas kedelai diserahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar, sangat susah menciptakan stabilitas harga. Alhasil, perlu ada pembenahan tata niaga yang mampu mengimbangi dominasi importir besar supaya harga lebih stabil.Tapi, dia pesimistis, mengubah tata niaga juga tak akan berumur lama. Setiap ganti pejabat dan pemerintahan, muncul kebijakan baru. Karena itu, yang paling penting, pemerintah fokus menjalankan strategi jangka panjang untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Tak cukup menggembar-gemborkan target swasembada, tapi perlu ada program yang nyata dan terarah. Salah satunya adalah mencari solusi untuk ketersediaan lahan penanaman kedelai dalam jumlah besar. Sampai tahun lalu, lahan produksi kedelai hanya 630.000 hektare. “Indonesia butuh minimal 1,2 juta hektare tambahan lahan untuk mencapai swasembada kedelai,” ujar Benny A. Kusbini, Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional.Selain itu, produktivitas tanaman kedelai lokal juga harus ditingkatkan. Sebagai contoh, tingkat produktivitas pertanian kedelai di AS bisa mencapai 2,6 juta ton per hektare. Sementara, rata-rata produktivitas tanaman kedelai di Indonesia baru mencapai 800 kilogram (kg) hingga 1 ton per hektare.Kualitas hasil panen kedelai juga perlu jadi perhatian. Menurut Rachmat Hidayat, Direktur Urusan Perusahaan PT Cargill Indonesia, para produsen makanan lebih menyukai kedelai impor asal AS lantaran warnanya putih dengan ukuran yang lebih besar dan seragam. Beda dengan kedelai lokal yang ukurannya lebih kecil. “Kedelai lokal banyak diserap oleh produsen pakan ternak,” katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kedelai butuh solusi permanen
Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi krisis tingginya harga kedelai. Sayang, kebijakan ini tak bisa otomatis menurunkan harga karena pasokan kedelai sangat dipengaruhi beberapa faktor yang perlu solusi jangka panjang.Aksi mogok para produsen tempe dan tahu selama tiga hari sampai akhir pekan lalu memaksa pemerintah bergerak. Menjawab aspirasi para produsen tempe tahu yang mengeluhkan harga kedelai yang makin tinggi sejak Mei 2012 lalu, lewat Kementerian Perdagangan (Kemendag), pemerintah memberi solusi.Pertama, menghapus bea masuk impor kedelai dari 5% menjadi 0% mulai Agustus hingga Desember 2012, sebagai solusi krisis kedelai dalam jangka pendek. Kedua, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan juga menyebutkan bahwa pemerintah akan memfasilitasi Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Kopti) untuk mengimpor kedelai sendiri, termasuk kemungkinan kerjasama dengan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog).Meski pemerintah berharap solusi jangka pendek itu begitu manjur, para pelaku industri kedelai menganggap kebijakan ini kurang efektif. Menurut Sutaryo, Ketua Umum Induk Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Inkopti), penghapusan bea masuk tak serta-merta bisa dinikmati oleh para perajin tempe dan tahu. Sebab, kebijakan itu baru berlaku untuk kedelai impor yang masuk mulai 1 Agustus 2012. “Pengaruhnya ke harga baru bisa dirasakan pada September atau Oktober nanti,” tuturnya.Faktor lain yang tak kalah penting, ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor menjadikan industri pengguna kedelai terbelenggu oleh harga komoditas ini di pasar global. Maklum, hampir 90% kebutuhan kedelai dalam negeri masih harus dipasok dari beberapa negara, terutama Amerika Serikat (AS) dan Amerika Selatan. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2011, total produksi kedelai produksi dalam negeri hanya mencapai 851.286 ton atau memasok 29% dari total kebutuhan dalam negeri yang mencapai hampir 2,6 juta ton (lihat tabel).Alhasil, sisa kebutuhan ditutup oleh kedelai impor yang mencapai 2,09 juta ton. Hampir 80% di antaranya berasal dari AS (1,85 juta ton). Oleh karena itu, kondisi di negara penghasil kedelai sangat berpengaruh pada pasokan dan harga. Tren kenaikan harga kedelai saat ini, misalnya, dipicu oleh kekeringan di sebagian wilayah AS, termasuk di sebagian setra pertanian. Departemen Pertanian AS menyatakan, 1.300 kota di 29 negara bagian mengalami kekeringan sehingga mengakibatkan kondisi lahan berada pada level terburuk sejak 1988. Saat itu, produksi kedelai negara itu anjlok 20% dibanding tahun sebelumnya.Katakanlah kekeringan di AS tidak terjadi. Problem lain yang menggelayuti industri pengguna kedelai adalah tata niaga kedelai masih dikuasai oleh beberapa perusahaan. Ada empat importir besar dan beberapa puluh distributor yang leluasa menentukan harga. Jadi, tidak mudah mengubah sistem perdagangan yang sudah mengakar ini.Nah, bila pemerintah bakal memberikan fasilitas impor kepada Kopti, termasuk jika bekerjasama dengan Bulog, apakah sinergi ini mampu mengimbangi dominasi para importir besar? Maklum, yang butuh kedelai tak cuma pengusaha tahu tempe, tapi juga pengusaha makanan, pabrik kecap, bahkan pabrik pakan ternak.Ingin harga stabilSejatinya, tujuan para perajin tempe dan tahu mogok hanya satu: meminta agar harga kedelai lebih stabil. Sutaryo yakin, jika komoditas kedelai diserahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar, sangat susah menciptakan stabilitas harga. Alhasil, perlu ada pembenahan tata niaga yang mampu mengimbangi dominasi importir besar supaya harga lebih stabil.Tapi, dia pesimistis, mengubah tata niaga juga tak akan berumur lama. Setiap ganti pejabat dan pemerintahan, muncul kebijakan baru. Karena itu, yang paling penting, pemerintah fokus menjalankan strategi jangka panjang untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Tak cukup menggembar-gemborkan target swasembada, tapi perlu ada program yang nyata dan terarah. Salah satunya adalah mencari solusi untuk ketersediaan lahan penanaman kedelai dalam jumlah besar. Sampai tahun lalu, lahan produksi kedelai hanya 630.000 hektare. “Indonesia butuh minimal 1,2 juta hektare tambahan lahan untuk mencapai swasembada kedelai,” ujar Benny A. Kusbini, Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional.Selain itu, produktivitas tanaman kedelai lokal juga harus ditingkatkan. Sebagai contoh, tingkat produktivitas pertanian kedelai di AS bisa mencapai 2,6 juta ton per hektare. Sementara, rata-rata produktivitas tanaman kedelai di Indonesia baru mencapai 800 kilogram (kg) hingga 1 ton per hektare.Kualitas hasil panen kedelai juga perlu jadi perhatian. Menurut Rachmat Hidayat, Direktur Urusan Perusahaan PT Cargill Indonesia, para produsen makanan lebih menyukai kedelai impor asal AS lantaran warnanya putih dengan ukuran yang lebih besar dan seragam. Beda dengan kedelai lokal yang ukurannya lebih kecil. “Kedelai lokal banyak diserap oleh produsen pakan ternak,” katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News