Kegelisahan Pramono Anung jelang Pemilu 2014



JAKARTA. Tahun politik tampaknya menjadi momen 'berwajah ganda' bagi Pramono Anung. Di satu sisi ada harapan, karena pesta demokrasi Pemilu 2014 akan segera berlangsung.

Namun di sisi lain, rasa pesimistis politisi PDIP itu juga tak dapat dihilangkan, mengingat kualitas demokrasi Indonesia diragukan akan menghasilkan pemimpin yang kapabel. Kegelisahan tersebut dijawab oleh Pramono dalam bukunya yang berjudul 'Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi: Potret Komunikasi Politik Legislator-Konstituen' (Kompas: 2013). Dalam buku yang bersumber dari disertasi doktoral yang berhasil dipertahankannya di Universitas Padjajaran, Pramono menyoroti sistem proposional terbuka yang dianut oleh model Pemilu Indonesia ternyata mempunyai implikasi politik yang 'berdampak sistemik'.

Kenapa? Pramono mengatakan dalam sistem proporsional terbuka yang menjadi dasar atas terpilihnya calon untuk menjadi anggota DPR dan DPRD adalah suara terbanyak. "Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD mengubah sistem pemilu legisltatif dari sistem proposional tertutup menjadi sistem proposional terbuka," ungkapnya di sela diskusi bukunya di Ruang Wartawan DPR (3/12). Sistem proposional terbuka tidak lagi melihat kapabilitas figuritas calon, tetapi asal mendapatkan suara terbanyak maka dia yang berhak duduk menjadi wakil rakyat. "Strategi kampanye calon legislator sangat menentukan untuk dapat dipilih," ujarnya. Oleh karenanya, kemunculan fenomena pengusaha, pelawak, pemilik modal dalam Pemilu menjadi hal yang lumrah ditemui dalam Pemilu Legislatif. Kebanyakan dari mereka memandang pemilu adalah ajang kontestasi ketimbang kompetisi. "Kekuataan modal memungkinkan mereka untuk memiliki akses lebih banyak pada media massa. Yang jadi persoalan, pengetahuan dan keputusan dalam memilih masyarakat bukan lahir dari bertemunya harapan masyarakat tetapi lebih karena peristiwa psikologis, bahkan transaksional," ujarnya. Berdasarkan temuannya, Pramono menjelaskan, ada tingkatan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh calon legislator pada saat kampanye. "Dana minimal itu di bawah Rp 600 juta, dana standar antara Rp 600 juta hingga Rp 1 miliar. Sedangkan dana besar di atas Rp 1 milliar," tandasnya. "Untuk incumbent saja ada yang mengeluarkan Rp 1,8 miliar sampai Rp 2,5 miliar, bagaimana dengan tokoh biasa?" tanyanya. Wakil Ketua DPR tersebut juga mengemukakan bahwa ada hubungan antara figuritas calon dan besarnya biaya kampanye. "Biaya paling rendah adalah publik figur dan paling tinggi itu pengusaha isarannya satu sampai enam miliar," pungkas Pramono.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan