Kehadiran SBR bisa menganggu pendanaan yang didapat perbankan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah kembali menawarkan instrumen Surat Utang Negara (SUN) dalam bentuk savings bond ritel (SBR) seri SBR007. Kalangan perbankan pun menilai SBR ini akan makin membuat bank berdampak pada likuiditas yang makin ketat.

Adapun, tingkat kupon SBR007 ini mengikuti suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) ditambah spread tetap sebesar 150 bps atau 1,5%. Adapun, untuk periode 3 bulan pertama 31 Juli-Oktober 2019 kupon yang ditawarkan sebesar 7,5%.

Praktis saja, hal ini dapat mengganggu kondisi pendanaan bank lantaran imbal hasil yang ditawarkan lebih tinggi dibanding rata-rata deposito 1 tahun sebesar 6,1% per (9/7). Hal ini bakal bisa jadi membuat likuiditas bank menjadi lebih ketat, sebab catatan BI menunjukkan per Mei 2019 total dana pihak ketiga (DPK) perbankan baru tumbuh 6,7% secara year on year (yoy).


Baca Juga: Cetak rekor, kapitalisasi pasar Bank BRI (BBRI) sentuh Rp 551 triliun

Meski begitu, Wakil Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Herry Sidharta mengatakan pihak perbankan sudah mengetahui rencana Pemerintah dan mengantisipasi hal tersebut. Menurut Herry, selama tahun 2019 ini Pemerintah memang berniat menerbitkan Surat Berharga Negara Ritel hampir di setiap bulan kecuali Juni dan Desember 2019.

Sebagai salah satu agen penjual SBR, BNI mengamini kalau hal ini bakal berdampak pada pertumbuhan DPK yang melambat. "Namun sudah menjadi tugas kami untuk menyusun strategi dan meminimalisir dampaknya terhadap rencana pencapaian target DPK," kata Herry kepada Kontan.co.id, Rabu (10/7).

Salah satu cara yang bisa ditempuh menurut perseroan adalah mengutamakan sumber dana dari dana segar (fresh fund) dari nasabah eksisting atau akuisisi nasabah baru.

Memakai cara ini, Herry optimis pertumbuhan DPK perseroan hingga akhir tahun 2019 dapat tetap tumbuh di kisaran 12%-14% atau sesuai dengan target awal tahun perseroan.

Baca Juga: Batal rilis obligasi, Bank Bukopin (BBKP) siap rights issue

Senada, Direktur Konsumer BTN Budi Satria menyebut wajar kalau masyarakat lebih memilih SBR ketimbang deposito. "Tentu instrumen ini lebih menarik dibanding simpanan reguler di perbankan," katanya. Alhasil, strategi BTN untuk mempertahankan DPK tumbuh di kisaran 16% yoy tahun ini sedikit bergeser.

Menurut Budi, pihaknya akan memanfaatkan customer based guna mendalami potensi simpanan dari mitra bank dan institusi lainnya. Selain itu, terus mendorong pertumbuhan dana ritel terutama tabungan. BTN juga memilih untuk tidak menaikkan bunga deposito untuk bersaing dengan SBR. "Kami optimalkan potensi customer based yang bisa digali," terangnya.

Setali tiga uang, Presiden Direktur OCBC NISP Parwati Surjaudaja berpendapat SBR dan simpanan bank tidak bisa bersaing langsung karena tenornya yang panjang. Lagipula, menurutnya dana masyarakat Indonesia yang masih bisa digali cukup tinggi. Tercermin dari rasio deposito terhadap PDB yang masih di bawah 50%.

"Semua produk harusnya bisa menggali pendanaan di Indonesia. Target kami pun tetap sama," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi