KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua CIGRE (
Conseil International des Grands Reseaux Electriques/Dewan Internasional Sistem Listrik Besar) Indonesia Herman Darnel Ibrahim memaparkan, bahwa kejadian
blackout atau gangguan besar seperti ini, sebenarnya juga pernah terjadi di mana-mana termasuk di negara maju. Negara maju seperti Amerika Serikat juga beberapa kali mengalami
blackout. Di New York tercatat tiga kejadian yaitu pada 13 Juli 1977, 14 Agt 2003 dan terakhir baru saja bulan lalu 14 Juli 2019. “Jadi rata-rata periodenya 15-20 tahunan, “ ujarnya dalam keterangan pers, Selasa (7/8). Pemulihan
blackout New York pada tahun 2003, menurutnya, memerlukan waktu lebih 2 hari. Sementara kejadian terbaru pada 13 Juli 2019 lalu, juga baru pulih setelah 2 hari.
“California juga pernah mengalami blackout tahun 1996, 2011, 2018 dan 2019. Bahkan dalam kejadian
blackout pada 2011 di negara itu, Gubernurnya sampai mengatakan ,
‘Even new cars can get breakdown," paparnya.
Baca Juga: Listrik padam hari ini lebih parah dari rekor mati listrik 2005? Begitu lazimnya kejadian ini, sehingga dalam konferensi CIGREyang diselenggarakan tiap tahun genap, di Paris, jelas Herman, selalu ada Sesi
Plenary khusus yang mempresentasikan kejadian
Blackout/Large Disturbances yang terjadi di suatu negara. Dalam sistem interkoneksi Jawa Bali, Herman yang pernah menjabat sebagai Direktur Transmisi dan Distribusi PLN periode 2003 – 2008 ini, mencatat setidaknya pernah terjadi 4 kali
blackout. Masing-masing pada tanggal 13 April 1997, 18 Agt 2005, 18 Maret 2009 dan terakhir 4 Agustus 2019 kemarin. “Jadi kira-kira periodenya sekali dalam 5-10 tahunan,” ujarnya. Interkoneksi Jawa Bali memang membuat sistem menjadi kuat, namun dalam sistem buatan manusia tidak ada jaminan
reliability yang 100%. Mengutip perkataan Murpgis Law, Herman mengatakan,”Un-
reliability yang walau hanya 0.0000 sekian persen itu bisa menjadi penyebab,” katanya.
Baca Juga: Masih kaji keringanan pajak mobil listrik, JK: Aturannya keluar dalam waktu singkat Herman memaparkan, gangguan
blackout umumnya diawali oleh gangguan dari luar, hubungan ke tanah atau lainnya. Gangguan juga bisa terkait dengan kelemahan dalam komponen sistem seperti kekurangan infrastruktur (N-1), asupan terkait
setting proteksi, kontrol dan lain-lain. Dalam kondisi itu, jika proteksi tak bekerja sempurna, gangguan potensial untuk meluas. Kriteria sekuriti sistem PLN seperti dimuat dalam RUPTL adalah N-1, artinya sistem didisain untuk tetap aman jika 1 komponen sistem trip (tanpa
load curtailment). Dalam sistem Jawa Bali, menurutnya, tidak semua N- 1 terpenuhi, khususnya pada transmisi. Komposisi pembangkit dan beban bisa bervariasi, bisa ada saat-saat dimana ktiteria N-1 tersebut tak terpenuhi. Sistem Jawa Bali adalah interkoneksi yang sangat besar dengan sekitar 500 gardu Induk dan 200-an unit pembangkit serta ribuan kms transmisi. Melalui sistem interkoneksi itu, sejatinya sistem menjadi sangat kuat sehingga jarang sekali terjadi gangguan pasokan yang disebabkan oleh pembangkit dan transmisi. Namun sebaliknya, karena begitu besar dan kompleksivitasnya sistem, jika terjadi
blackout akan butuh waktu lama untuk pemulihan. “Prinsip operasi mencegah gangguan pasokan dan mengamankan sistem terhadap kemungkinan
blackout ini tentu sudah dilakukan
utility seperti PLN,” ujarnya.
Baca Juga: Tahun depan, anggaran subsidi listrik turun menjadi Rp 58,62 triliun Tunggu Hasil Investigasi Bagaimana mengatasinya? Untuk mengetahui akar penyebab
blackout, menurut Herman, lazimnya dan memang sudah seharusnya dilakukan investigasi yang melibatkan para ahli dari luar
utility. Seperti halnya dalam
“crash investigation”, semua data
recorders dan data peralatan dikumpulkan dan dianalisa oleh tim penyelidik yang dibentuk. Kemudian dibahas kemungkinan-kemungkinan penyebab, lalu disimpulkan penyebabnya; apakah karena kelemahan peralatan,
defects pada komponen, kelemahan sistem proteksi atau
setting-nya atau bisa juga faktor sumber daya manusia
(human error). Pada akhirnya Herman berpendapat,
blackout itu sebuah musibah bagi
utility, dan sudah menjadi SOP untuk mencegahnya supaya tidak terjadi. “Musibah
blackout itu layaknya kecelakaan pesawat atau kematian. Pada saat terjadinya lebih bijak jika memberi empati bukan mengumpat. Jangan terlalu reaktif dengan analisa-analisa dan solusi-solusi yang spekulatif tanpa mengetahui rincian kejadian dan akar masalahnya. Lebih baik kita bersabar menunggu hasil penyelidikan,” katanya.
Baca Juga: Debut Tesla model 3 belum bakal berpengaruh pada laba Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .