KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkapkan, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah meminta BPKP melakukan koordinasi dalam kaitannya dengan dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan
blast furnace pada perusahaan baja plat merah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (
KRAS). “Baru kemarin tanggal 2 Maret 2022 kami ekspose bersama,” ujar Direktur Investigasi III BPKP Gumbira Budi Purnama dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Minggu (6/3). Ia mengatakan, bahwa ekspose tersebut merupakan tindak lanjut dari permintaan Audit Investigatif yang dilayangkan Kejaksaan Agung pada pertengahan Februari 2022 lalu.
“Kami diminta melakukan Audit Investigatif oleh Kejaksaan Agung pada 15 Februari lalu untuk mengungkap adanya penyimpangan dalam proyek pembangunan
blast furnace Krakatau Steel,” terang Gumbira.
Baca Juga: BPKP Menghitung Kerugian di Kasus Korupsi Garuda Indonesia Gumbira menambahkan, BPKP belum melakukan penghitungan kerugian negara lantaran belum ada permintaan dari Kejaksaan Agung untuk itu. Permintaan saat ini adalah untuk melakukan audit investigatif. "Itu pun belum dapat dipenuhi karena BPKP masih memerlukan bukti awal yang cukup," tutur Gumbira. Sebelumnya, Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin mengatakan, adanya dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik
blast furnace Krakatau Steel Tbk. Diduga hal itu terjadi antara tahun 2011 sampai tahun 2019. Ia menyebut, proyek tersebut bertujuan untuk memajukan industri baja nasional. Jaksa Agung mengatakan, sesuai hasil lelang tanggal 31 Maret 2011, pembangunan proyek pabrik
blast furnace dilaksanakan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering dengan nilai kontrak Rp 6.921.409.421.190 (Rp 6,9 triliun). Lalu, telah dilakukan pembayaran ke pemenang lelang sebesar Rp 5.351.089.465.278 (Rp 5,3 trilliun).
Namun demikian, lanjut Jaksa Agung, pengerjaan proyek dihentikan pada 19 Desember 2019. Padahal pengerjaan belum 100%. Selanjutnya, setelah dilakukan uji coba operasional, diketahui bahwa biaya produksi lebih besar daripada harga baja di pasaran. Bahkan, proyek tersebut belum diserahterimakan dan dalam kondisi tidak dapat beroperasi. Sehingga diduga terdapat peristiwa pidana yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari