SEOUL. Kekhawatiran para pebisnis global terhadap nasib makroekonomi global jelas masih ada. Namun, para pebisnis di Asia lebih optimistis dalam menjalankan bisnis mereka di masa mendatang. Indeks Sentimen Bisnis di Asia keluaran Thomson Reuters/INSEAD untuk kuartal II ini kembali menanjak ke angka tertinggi selama lima kuartal terakhir ke level 71. Sekadar informasi, indeks di atas 50 menunjukkan pebisnis positif melihat prospek mereka. Ketidakpastian ekonomi global masih menjadi risiko bisnis yang paling banyak dikhawatirkan. Namun, sekitar 44% dari 91 perusahaan di Asia melihat outlook positif, naik dibandingkan kuartal lalu yang hanya 30%.Shane Oliver, Kepala Ekonom di AMP Capital Investors, di Sidney menduga peningkatkan outlook terjadi karena faktor yang dikhawatirkan berkurang. Setahun lalu, pasar masih mengkhawatirkan soal penurunan tajam ekonomi China, potensi Eropa kolaps, penurunan tajam anggaran Amerika Serikat (AS). "Ketakutan ekstrem sudah lewat dan kini pasar lebih memperhatikan China, apakah pertumbuhan ekonomi mereka 7,5% atau bisa 7,8%," kata Oliver.Optimisme perbaikan prospek bisnis paling besar terutama datang dari berbagai perusahaan di Indonesia dan Australia. Kenaikan sentimen bisnis ini juga dicatat oleh pebisnis dari Jepang dan Korea Selatan. Sementara itu, sentimen bisnis di India menjadi yang paling lemah. Indeks di Thailand juga merosot ke posisi paling rendah menjadi 42 dari sebelumnya 60.Dari sisi sektor ekonomi, pebisnis pelayaran, ritel, dan teknologi menjadi yang paling optimis. Sentimen di sektor ritel naik tertinggi setelah pengangkutan pelayaran ke level 69 dari sebelumnya 50. Tim Huxley, Chief Executive Officer (CEO) dari Wah Kwong Maritime Transport Holdings Ltd, Hong Kong mengatakan, ada harapan kenaikan tarif pengangkutan barang di kuartal IV nanti. Pendorongnya, penurunan harga dan pencadangan kembali (restocking) komoditas bijih besi di China. Sementara itu, kepercayaan prospek di perusahaan makanan dan minuman turun menjadi 75, setelah kuartal I lalu mencatat rekor tertinggi 88. Penyebabnya, volatilitasi bahan baku dan kurs yang berpotensi menggerus untung mereka.
Kekhawatiran turun, pebisnis Asia lebih optimistis
SEOUL. Kekhawatiran para pebisnis global terhadap nasib makroekonomi global jelas masih ada. Namun, para pebisnis di Asia lebih optimistis dalam menjalankan bisnis mereka di masa mendatang. Indeks Sentimen Bisnis di Asia keluaran Thomson Reuters/INSEAD untuk kuartal II ini kembali menanjak ke angka tertinggi selama lima kuartal terakhir ke level 71. Sekadar informasi, indeks di atas 50 menunjukkan pebisnis positif melihat prospek mereka. Ketidakpastian ekonomi global masih menjadi risiko bisnis yang paling banyak dikhawatirkan. Namun, sekitar 44% dari 91 perusahaan di Asia melihat outlook positif, naik dibandingkan kuartal lalu yang hanya 30%.Shane Oliver, Kepala Ekonom di AMP Capital Investors, di Sidney menduga peningkatkan outlook terjadi karena faktor yang dikhawatirkan berkurang. Setahun lalu, pasar masih mengkhawatirkan soal penurunan tajam ekonomi China, potensi Eropa kolaps, penurunan tajam anggaran Amerika Serikat (AS). "Ketakutan ekstrem sudah lewat dan kini pasar lebih memperhatikan China, apakah pertumbuhan ekonomi mereka 7,5% atau bisa 7,8%," kata Oliver.Optimisme perbaikan prospek bisnis paling besar terutama datang dari berbagai perusahaan di Indonesia dan Australia. Kenaikan sentimen bisnis ini juga dicatat oleh pebisnis dari Jepang dan Korea Selatan. Sementara itu, sentimen bisnis di India menjadi yang paling lemah. Indeks di Thailand juga merosot ke posisi paling rendah menjadi 42 dari sebelumnya 60.Dari sisi sektor ekonomi, pebisnis pelayaran, ritel, dan teknologi menjadi yang paling optimis. Sentimen di sektor ritel naik tertinggi setelah pengangkutan pelayaran ke level 69 dari sebelumnya 50. Tim Huxley, Chief Executive Officer (CEO) dari Wah Kwong Maritime Transport Holdings Ltd, Hong Kong mengatakan, ada harapan kenaikan tarif pengangkutan barang di kuartal IV nanti. Pendorongnya, penurunan harga dan pencadangan kembali (restocking) komoditas bijih besi di China. Sementara itu, kepercayaan prospek di perusahaan makanan dan minuman turun menjadi 75, setelah kuartal I lalu mencatat rekor tertinggi 88. Penyebabnya, volatilitasi bahan baku dan kurs yang berpotensi menggerus untung mereka.