Kekurangan Pasokan Dalam Negeri, Impor Nikel RI Mendaki



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia justru mengalami kekurangan pasokan nikel untuk kebutuhan smelter-smelter. Kekurangan pasokan bijih nikel ini membuat Indonesia harus mengimpor nikel dari Filipina.

Catatan Kontan, per Juli 2024 nilai impor bijih nikel dari Filipina melonjak 648,18% dibandingkan Maret tahun ini. Nikel diserap ke Weda Bay Industrial Park lewat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yaitu smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang memproduksi bahan baku stainless steel.

Selain itu, PT Kalimantan Ferro Industry (KFI), pengelola smelter nikel di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur juga mengimpor bijih nikel dari negara lain, khususnya dari Filipina mencapai 51.000 ton.


Baca Juga: Pemerintah Akan Relaksasi Lagi Ekspor Konsentrat Tembaga

Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo mengatakan, masalah lonjakan masuknya bijih nikel ke Indonesia menjadi sangat wajar dan rasional. Sebab, kata Singgih, harus diakui flow ouput produksi tambang nikel (hulu) dan kebutuhan smelter akan bijih nikel (hilir) menjadi saling sangat terkait kuat.

Singgih menjelaskan, produksi bijih nikel, bagaimana pun akan mengikuti Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang telah dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Namun juga harus diakui di tahun ini, terjadi keterlambatan RKAB, sehingga mempengaruhi jumlah produksi.

"Dari sisi RKAB bijih nikel yang mencapai 250 juta ton, pada dasarnya cukup aman untuk memenuhi kebutuhan smelter, yang saat ini sekitar sebesar 200 juta ton," kata Singgih kepada Kontan, Kamis (3/10).

Namun, Singgih menyampaikan keterlambatan RKAB dan juga banyak faktor di sisi tambang, volume produksi menjadi di bawah kebutuhan smelter. Bersamaan masuk bijih nikel dari Philipina yang cukup besar dan dengan harga yang kompetitif.

Menurut Singgih, solusinya jelas dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) harus mengevaluasi RKAB untuk meletakkan peningkatan produksi menjadi poin utama. Pengajuan kenaikan produksi dari penambang, tentunya dengan pertimbangan hal lainnya seperti aspek teknik dan lingkungan, harus menjadi prioritas dalam menyelesaikan masalah masukannya bijih nikel dari Philipina.

Senada, Ketum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menerangkan berdasarkan data yang diperoleh oleh Perhapi dari suatu sumber menyatakan jumlah nickel ore yang diimpor sampai Juli 2024 sudah mencapai 3.3 juta ton.

Baca Juga: Smelter Freeport Segera Beroperasi, Intip Rekomendasi Saham AKR Corporindo (AKR)

"Hal ini lebih disebabkan karena kurang pasokan dari dalam negeri akibat masalah persetujuan RKAB yang belum selesai semua. Sehingga sebagian penambang nikel tidak bisa beroperasi karena belum mendapatkan persetujuan RKAB," ujar Rizal kepada Kontan, Kamis (3/10).

Rizal menilai smelter-smelter mengambil langkah untuk melakukan impor bijih nikel dari negara lain terutama Filipina yang merupakan salah satu negara pemilik cadangan nikel terbesar dunia. Selain itu, pertimbangan lain adalah jarak Filipina ke Halmahera juga lebih dekat secara geografis.

Menurut Rizal, apabila semua RKAB disetujui oleh pemerintah, kebutuhan bijih nikel untuk keperluan smelter dapat terpenuhi dari dalam negeri.

Perhapi berpendapat langkah impor bijih nikel dari luar negeri merupakan suatu strategi yang harus dilakukan mengingat untuk jangka panjang ketersediaan bijih nikel terutama dengan kadar tinggi yang di atas 1,5% Ni sudah terbatas dan diperkirakan hanya bertahan sekitar 13 tahun saja.

"Malah ada yang memperkirakan hanya 9 tahun daya tahan cadangan bijih nikel Indonesia," ujar Rizal.

Untuk itu, lanjut Rizal, langkah untuk meningkatkan ketahanan cadangan bijih nikel sangat mendesak untuk dilakukan terutama menghidupkan lagi kegiatan eksplorasi secara masif lewat lelang WIUP dan eksplorasi brown field oleh perusahaan di dalam IUP-OP untuk menambah neraca sumber daya dan cadangan, melakukan konservasi sumber daya dan cadangan dengan melakukan teknik penambangan yang efisien dengan mining recovery yang tinggi.

Baca Juga: Ekspor Batubara 600 Juta Ton, Menteri ESDM Tekankan Kelola Tambang Berkelanjutan

Hal lain yang juga bisa dilakukan adalah dengan langkah melakukan M&A dengan perusahaan sejenis di luar negeri seperti Filipina, New Caledonia dan Australia serta melakukan import bijih nikel seperti yang sudah dilakukan sekarang.

Sebelumnya, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan impor nikel dilakukan lantaran banyaknya jumlah smelter nikel di Indonesia. 

Diberitakan Kontan sebelumnya, Dewan Penasihat APNI Djoko Widdajanto mengatakan peningkatan impor bijih nikel dari Filipina ke Indonesia pada tahun ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya permintaan yang meningkat dari industri pengolahan nikel dan ketersediaan bijih nikel di dalam negeri.

Selanjutnya: BNP Paribas AM: Reksadana Masih Jadi Alternatif Investasi Pilihan

Menarik Dibaca: Bebas Greasy, Ini 5 Cara Pakai Cushion untuk Kulit Berminyak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .