Kelapa Sawit Indonesia Diserang Dunia Internasional, Ini Beberapa Alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kelapa sawit asal Indonesia sering mendapatkan stigma negatif dari dalam negeri maupun internasional. Salah satu alasannya adalah memang ada persaingan kelapa sawit di global.

Pakar kelapa sawit dan penulis buku Sawit untuk Negeri Petrus Gunarso menyebutkan produktivitas kelapa sawit asal Indonesia terus meningkat pesat. Akibatnya mengambil porsi minyak nabati dari kedelai dan lainnya yang dihasilkan negara lain terutama dari kawasan Eropa. Makanya tak heran ada alasan persaingan dagang secara global yang membuat kelapa sawit Indonesia dipojokkan.

"Dari sisi perdagangan atau produktivitas lahan, pasti mereka (Eropa/negara Barat, red) sangat keberatan karena produktivitas sawit (minyak nabati) Indonesia sangat besar dibanding produktivitas mereka di Eropa," kata Petrus, Kamis (1/11).


Sebagai perbandingan, jelas Petrus, 10 hektar lahan kedelai itu menghasilkan 1 ton minyak nabati dalam setahun. Sedangkan kelapa sawit bisa mencapai 10 ton. Dengan kata lain tingkat produktivitasnya 1 banding 10.

"Artinya bisa dibayangkan kalau sekarang luasnya lahan tanaman kedelai 56 juta hektar di Amerika, dan di kita cuma 16 juta hektar. Sementara sumbangan untuk minyak nabati kita di atas 55%. Artinya minyak nabati diisi oleh sawit," jelas Petrus.

Karena itulah, Petrus menduga munculnya berbagai macam isu negatif seperti merusak lingkungan, deforestasi, sampai mengganggu orang utan itu bermunculan karena persaingan bisnis global.

"Kalau menjual (kampanye) lingkungan pasti mengambil binatang-binatang yang membuat orang kasian. Padahal sebenarnya itu tidak benar. Sebab lahan sawit tidak banyak dari hutan alam primer yang orang tuannya banyak, jumlahnya sangat kecil, sekitar 4 persen," jelas Petrus.

Ia mengungkapkan manfaat adanya perkebunan kelapa sawit bagi Indonesia sangat besar, bukan hanya dari sisi perekonomian, juga sosial masyarakat yang sangat baik.

Menurut Petrus, hal ini terjadi karena satu-satunya komoditas yang pengelolaannya itu berimbang dan tidak berat sebelah antara perusahaan dan masyarakat adalah kelapa sawit.

"Misalnya berat yang sebelah itu kalau Kehutanan yang 98 persen itu dikelola oleh big company atau perusahaan besar, sedangkan masyarakat hanya 2 persen. Kemudian sebaliknya perkebunan karet 99 persen itu masyarakat dan hanya sebagian kecil oleh perusahaan. Kalau sawit berimbang antara perusahaan dan masyarakat di kisaran 45 persen dan 55 persen," jelas Petrus.

Kenapa keseimbangan ini perlu? Petrus menegaskan hal ini kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat. Membantu rakyat yang tadinya kesulitan menjadi lebih makmur.

Namun karena alasan persaingan itulah, Petrus menyebut banyak kampanye negatif terhadap kelapa sawit Indonesia, baik disampaikan di dalam negeri maupun di dunia internasional.

Sebagai contoh, Petrus menyebut adanya pernyataan bahwa sawit "rakus" dalam menyerap air. Padahal kalau jujur, justru di banyak kebun sawit yang dulunya tak ada air sekarang malah ada air. Yang dulunya sumber airnya kecil sekarang jadi besar.

"Ini gara-gara lingkungannya terjadi penutupan lahan yang baik (melalui pohon sawit, red) sehingga hujan yang jatuh terjadi infiltrasi dengan baik dan mengalir ke sumber air yang bisa dimanfaatkan," papar Petrus.

Contoh lainnya, kata Petrus, persoalan Indonesia dahulu adalah tumbuhan alang-alang yang memicu kerusakan hutan, kebakaran, dan emosi karbon. Kemudian masalah alang-alang itu justru teratasi dengan adanya perkebunan sawit.

"Saya menemukan indikasi kuat yang dulu alang-alang sekarang menjadi sawit. Artinya ini penyelesaian masalah. Apalagi kalau dikaitkan dengan penerapan karbon yang dulu Alang Alang penyerapannya rendah sekarang (sawit) lebih besar. Dulu Alang Alang mudah terbakar emosinya besar, sekarang menjadi sawit. Ini kan solusi," lanjutnya.

Terkait lahan, Petrus menyebut sebenarnya hanya sebagian kecil saja lahan sawit itu yang dibuka dari hutan alam primer. Yang lainnya adalah pengalihan area, serta kebun karet masyarakat yang menjadi sawit.

"Tapi anehnya, kalau dunia internasional mengatakan 98 persen (kebun sawit, red) dari hutan alam. Itu tidak benar. Lalu Internasional menyerang sawit dengan menggunakan isu lingkungan," ungkap Petrus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Lamgiat Siringoringo