Kelayakan jual-beli listrik swasta dibahas lagi



JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang merumuskan besaran kewajiban pembelian listrik yang ideal oleh PLN dari pembangkit milik pengembang swasta. Mekanisme ini disebut dengan take or pay.

Selama ini, perjanjian pembelian listrik antara PLN dengan pemilik pembangkit listrik berbeda-beda menyesuaikan dengan jenisnya. Misalnya, untuk pembangkit yang masuk kategori base loader seperti PLTU, PLTA, PLTMH, PLTG, maka PLN berani membeli volume listrik 80%-85% dari kapasitas mereka.

Sedangkan untuk pembangkit jenis pengisi saat jam sibuk atau peaker, kewajiban PLN membeli listriknya hanya 45% dari kapasitas. Pembangkit peaker bisa membangkitkan listrik dengan cepat, sehingga digunakan saat permintaan listrik sedang tinggi.


Sofyan Basir, Direktur Utama PLN menjelaskan, skema bisnis take or pay merupakan negosiasi antara PLN dengan pengembang swasta dengan persetujuan Kementerian ESDM. Ia juga menegaskan, dalam skema ini PLN belum berniat membuat harga tetap saat membuat kontrak dengan pembangkit swasta.

"Belum ada rencana (menurunkan level). Kami akan mengkaji kembali bersama-sama dengan Pak Menteri ESDM," ujarnya, Jumat (6/1).

Menurut Sofyan, jika harga dalam skema take or pay terlalu rendah, bisa membuat pengembang mundur karena proyeknya menjadi tidak layak digarap.

"Walaupun bila Kementerian ESDM melakukan revisi level take or pay tentunya PLN lebih menginginkan turun," ungkap dia.

Namun, lanjut Sofyan, keinginan menurunkan harga itu tak mudah. Sebagai off taker atau pembeli listrik pengembang swasta, PLN juga harus menjamin kelangsungan usaha dari produsen listrik swasta tersebut.

"Penyesuaian (take or pay) itu tergantung Kementerian ESDM, jangan sampai mereka (produsen listrik swasta) juga mundur. Kami harus memberikan keuntungan yang cukup dengan tingkat internal rate of return (IRR) berkisar antara 11% hingga 12%," katanya.

Karena itulah, hal ini perlu dibicarakan bersama antara pemerintah yakni Kementerian ESDM, PLN dan produsen listrik swasta. "PLN tidak boleh bicara sendiri, kan ada otoritasnya ESDM. Kami harus positif karena sudah kerja setengah mati," ungkap dia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institure for Essential Services Reform (IESR) mengatakan pada jaman dulu take or pay untuk PLTU sangat tinggi yakni berkisar 85% hingga 90%. Hal itu yang membuat banyak pembangkit yang tidak memenuhi kontrak.

Selain itu, dirinya memandang langkah pemerintah sudah tepat untuk mendenda IPP yang tidak bisa menyuplai listrik yang telah disepakati bersama dalam PPA. Menurutnya, yang perlu diperdebatkan adalah kewajaran take or pay.

"Jika PLTU, saya kira 70%-75% wajar, bukan 85%-90% karena telalu tinggi. Ini, kan untuk memastikan kapasitas yang dibeli PLN dalam setahun," ujarnya.

Iwa Garniwa, Pengamat Kelistrikan dari Universitas Indonesia menilai, bukan persoalan take or pay, tetapi pada terlalu banyaknya porsi swasta di proyek listrik. "Jangan sampai pertumbuhan beban listrik yang diharapkan tidak sesuai, sehingga pembangunan pembangkit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan demand," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie