Kelit licin Setya Novanto



Selincah-lincahnya tupai melompat, pada waktunya akan jatuh juga. Tupai boleh pandai menaklukkan ranting dan mengelabuhi pemburu. Tapi ingat, hanya karena tiupan angin sepoi bisa bikin tupai tertidur pulas dan membuatnya tersungkur ke tanah. Itulah peribahasa yang acap disematkan pada seseorang yang hebat bersiasat dalam suatu perkara, namun harus mawas diri karena bisa jadi gara-gara hal sepele bisa menjatuhkan martabatnya.

Hari-hari ini peribahasa tersebut jadi kosakata perbincangan publik. Khususnya, dikaitkan dengan sepak terjang ketua DPR Setya Novanto yang acap lolos dari jerat yang mengimpitnya. Politisi kawakan tersebut sudah banyak diterpa isu tak sedap yang mengancam jabatannya. Namun ia begitu licin sehingga tetap bergeming di singgasana kekuasaannya.

Pada mulanya Novanto bermanuver dengan menghadiri kampanye kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Republik Donald Trump pada September 2015.  Tindakannya menjadi sorotan karena dianggap tak mencerminkan wakil rakyat. Namun bukan Novanto kalau tak pandai berkilah. Sejuta alasan dikemukakan hingga akhirnya Majelis Kehormatan Dewan (MKD) hanya memberikan teguran tertulis. Novanto selamat.


Teliti dan tepat prosedur

Kabar buruk kembali datang.  Novanto diduga mencatut nama Presiden Jokowi dalam siasat bagi keuntungan perpanjangan kontrak Freeport yang dikenal dengan istilah “Papa Minta Saham”. Bola politik bergulir panas. Novanto diarak ke meja MKD dan jabatannya terancam dicopot. Namun, persidangan yang mirip dagelan politik itu tak menghasilkan apa-apa alias nihil vonis. Sebab, sebelum keputusan dibacakan Novanto sudah lebih dulu mundur dari jabatannya Ketua DPR. Sehingga, secara etika kelembagaan Novanto tak dinyatakan terbukti bersalah. Novanto menang telak.

Siasat politik tebal muka pun dilancarkan dengan kedok mendekati dan menggadang kembali Presiden Jokowi sebagai calon presiden pada 2019. Atas nama partai pohon beringin yang dipimpinnya, Novanto berhasil melunakkan hati presiden hingga hubungan keduanya kembali mesra. Gayung bersambut. Gugatan uji materi yang diajukan Novanto di MK terkait frasa multitafsir “pemufakatan jahat”  dalam UU Tipikor  dikabulkan hakim. Majelis berpendapat frasa pemufakatan jahat dalam UU Tipikor tidak memberikan definisi yang jelas unsur-unsurnya, sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Gugatan tersebut menguntungkan Novanto karena menetralkan tudingan permufakatan jahat yang melekat dalam kasus “Papa Minta Saham”. Tak pelak nama Novanto seolah kembali mendapatkan panggung. Ia terpilih kembali sebagai Ketua DPR menggantikan Ade Komarudin, rekan separtainya, yang dinyatakan bersalah oleh MKD terkait RUU Pertembakauan. Lagi-lagi Novanto menang.   

Namun bukan Novanto namanya kalau sepi dari masalah. Setelah bisa keluar dari berbagai jerat kasus di atas, ia kembali diterjang kasus yang lebih dahsyat. Novanto diduga terlibat kasus korupsi pengadaan KTP elektronik. Tanggal 17 Juli 2017 KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka karena diduga menyalahgunakan wewenang dan jabatan sehingga merugikan negara Rp 2,3 triliun. Beberapa kali Novanto dipanggil KPK untuk kepentingan pemeriksaan perkara namun sering mangkir dengan alasan sakit.

Tak mau kehilangan celah, Novanto mengajukan praperadilan untuk memastikan keabsahan penetapannya sebagai tersangka. Syahdan, hakim tunggal Cepi Iskandar yang menangani praperadilan memenangkan Novanto. Dalam putusannya, Cepi menyatakan penetapan tersangka Novanto tidak sah karena tak dilakukan pada akhir tahap penyidikan suatu perkara. Sehingga, berpotensi menggerus harkat dan martabat serta hak-hak tersangka tidak terlindungi. Kembali, Novanto menang.

Lantas sampai kapan kelit licin Novanto itu akan berakhir? Hanya waktu yang akan mengujinya. Yang jelas keoknya KPK di beberapa sidang praperadilan harus jadi bahan evaluasi bahwa kerja lembaga antirasuah yang berkaitan dengan objek praperadilan membutuhkan ketelitian dan ketepatan prosedural. KPK jangan sembrono menghadapi koruptor yang licin bagai belut. Meski memiliki setumpuk alat bukti terkait pokok perkara, jangan pernah abaikan kualitas kerja penyidikan, penetapan tersangka, hingga penuntutan. Sebab, forum praperadilan acap menjadi tumpu pengungkit bagi koruptor untuk mengalihkan titik beban korupsi yang melilitnya.                            

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi