TBS, sebut saja demikian, tak kuasa menolak permintaan AP, pria yang mengaku staf presiden. AP membutuhkan uang sebesar Rp 150 juta untuk renovasi rumah. TBS yang juga orang dalam istana presiden ini sama sekali tak curiga. Maret 2011, ketika peristiwa ini terjadi, TBS berada di Singapura. Ia diberitahu soal permintaan AP dari asistennya di Jakarta. Lewat asisten ini, dia memerintahkan transfer. TBS tak curiga, karena tahu bahwa staf presiden yang dicatut namanya itu memang sedang memperbaiki rumah. Asistennya juga tidak curiga, sebab suara AP palsu di seberang telepon sangat mirip dengan staf presiden yang hampir setiap hari ia temui.
Penipuan terbongkar setelah keduanya bertemu di Jakarta. AP bukan saja mengaku tidak pernah meminta transfer uang, juga menjelaskan bahwa namanya sering dicatut untuk menipu kepala daerah. Tertipu mentah-mentah, TBS melapor ke polisi. Laporan tersebut sudah terlambat. Penelusuran polisi hanya berakhir di rekening yang sudah melompong. Tak ada jejak. Penyelidikan berjalan lambat karena bank BUMN tempat si pejabat ini menjadi nasabah lamban merespons dan berbelit-belit. "Untuk membuka data rekening si penipu itu saya dipingpong ke kantor pusat bank dan meminta izin Bank Indonesia BI. Padahal sudah jelas-jelas ada korbannya," kata Budi Hermanto, Kepala Unit Kejahatan dan Kekerasan (Kanit Jatanras), kepada KONTAN, pekan lalu. Budi tak mau mengungkap identitas TBS dan AP. Ia hanya mengatakan, korban dari kalangan pejabat yang mencatut nama AP bukan cuma satu. Dari arsip KONTAN, salah satu staf presiden yang namanya paling sering dicatut adalah juru bicara presiden, Julian Aldrin Pasha. Kasus penggunaan nama ini pernah heboh sepanjang 2010 lalu. Nama Andi Malarangeng, jubir presiden sebelumnya yang kini Menteri Pemuda dan Olahraga, juga sering dicatut. Julian sempat dibuat repot kasus semacam ini. Dia membuat edaran ke seluruh kepala daerah dan pejabat pemerintahan lain. "Saya tidak pernah berkomunikasi selain lewat
handphone. Jadi jangan pernah percaya orang yang mengaku nama saya," katanya ketika itu. AM Fatwa jadi korban Sepekan kasus TBS berlalu, Budi mendapatkan lagi laporan serupa. Korbannya Andi Mapetahang (AM) Fatwa. Ia dihubungi seseorang yang mencatut nama Sekretaris Wakil Presiden (Seswapres) Boediono, Muhammad Oemar. Berbeda dengan kasus TBS, mantan petinggi negara ini berbicara langsung lewat telepon dengan Oemar palsu. Dia mengaku sedang menuju ke Italia untuk mengurus perpindahannya ke Indonesia. Sebelum ditarik ke Jakarta, Oemar adalah duta besar untuk negara tersebut. Dalam percakapan itu, Oemar palsu meminta bantuan AM Fatwa menyelesaikan urusan putrinya di Indonesia. "Pokoknya butuh uang dan mendesak. Oemar minta saya transfer Rp 75 juta ke rekening BNI kenalannya," kata AM Fatwa kepada KONTAN, Selasa (11/9). Tanpa berpikir panjang, deklarator Partai Amanat Nasional (PAN) ini menginstruksikan stafnya agar transfer uang. "Saya baru merasa ada yang tidak beres ketika tiba di kantor. Seketika itu pula saya menelpon staf Pak Oemar. Ternyata terlambat," katanya. Peristiwa ini terjadi Februari 2011 silam. Ketika dihubungi penipu, AM Fatwa kebetulan baru meninggalkan istana Wapres. Ia menemui Boediono untuk menyampaikan undangan acara peringatan satu abad Syafuddin Prawiranegara, pahlawan nasional. "Saya ketua panitia. Saat itu saya senang sekali karena Pak Wapres bersedia hadir," kenangnya. Mungkin, saking bahagianya itu, AM Fatwa langsung merespons permintaan Seswapres. "Saya juga tidak menyangka suara Oemar palsu ini sangat mirip dengan yang asli," katanya. AM Fatwa mengaku beberapa kali berhasil menghindari jebakan penipu. Dia nyaris diperdaya seseorang yang mengaku staf Bambang Kesowo, sekretaris kabinet era Megawati dan Danjen Kopassus Isnaeni pada 2002. Yang terakhir ini, AM Fatwa sedang berada di Filipina untuk mengurus pembebasan Tamsil Linrung. Ketika itu, bendahara PAN yang kini bergabung ke PKS tersebut sedang terbelit kasus dugaan terorisme. "Saya tidak meladeni karena permintaannya tidak logis. Masak Danjen Kopassus meminta dana latihan tempur ke saya," kenangnya, terbahak-bahak. Ia melaporkan kasus ini ke polda. Mengurai kasus AM Fawa, Budi langsung bergerak. Ia tak berkoordinasi lagi dengan bank, karena prosedurnya berbelit. Dari penelusuran inilah Budi menemukan keterkaitan dengan penipuan sebelumnya, yang memakan korban orang dekat presiden. "Pelaku meninggalkan sebuah jejak. Dari sini kita masuk," katanya. Kepada KONTAN, Budi menjelaskan secara rinci maksud jejak itu dan teknik membongkarnya. Tapi, demi pengejaran sindikat, ia minta tidak untuk dipublikasikan. Singkat kata, akhir Maret 2011, Budi berhasil meringkus penipu di Bandung, Jawa Barat. "Saya dapat ujungnya
doang, tidak sampai ke hulu, ke pembuat KTP palsu dan pemalsu rekening," katanya. Dari interogasi itu, tersangka menyebut nama-nama pejabat yang pernah menjadi korbannya, termasuk TBS. Mereka juga menjelaskan modus dan alasan membidik pejabat. "Pejabat sasaran empuk karena paling tanggap membantu rekannya, apalagi jika yang dibantu berada di lingkaran kekuasaan. Selain itu, rasa tidak enaknya tinggi," kata Budi menirukan pengakuan pelaku. Sebelum bertindak, pelaku selalu mengintai calon korban dan mempelajari kebiasaan mereka. Mereka tahu jadwal pejabat, dengan siapa akan bertemu, dan apa saja agendanya. "Mereka juga mempelajari tutur kata orang yang akan dicatut namanya, dari televisi," katanya. Maka para pejabat itu tak curiga. "Ini bukan kebetulan. Mereka memang mempelajarinya," kata Budi.
Hal yang sama juga mereka lakukan ketika menipu orang tua di rumah dengan modus anak kecelakaan di sekolah. Bagaimana kisah penipu memperdayai masyarakat? Ikuti kisah selanjutnya. n
(Bersambung) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: