KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemegang obligasi (
bond holder) PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) menolak rencana pemisahan (
spin off) unit bisnis beras perusahaan, PT Dunia Pangan. Alhasil, AISA harus mencari cara lain untuk membayar utang obligasi yang akan jatuh tempo pada April 2018 mendatang. Sjambiri Lioe, Direktur Keuangan AISA, mengatakan, hal tersebut merupakan hasil keputusan rapat umum pemegang obligasi (RUPO) yang digelar Rabu (6/10). "Iya betul,
bond holder menolak," ujar Sjambiri kepada Kontan.co.id, Kamis (7/12). Obligasi dan sukuk ijarah AISA dijamin dengan aset tetap anak usaha Dunia Pangan, seperti PT Jatisari Srirejeki dan PT Sukses Abadi Karya Inti. "Jadi karena objek jaminan ini akan dijual, kami menawarkan agar jaminannya diganti dengan uang. Tapi, mereka menolak," imbuh Sjam.
Ia mengatakan, hasil RUPO ini bisa berdampak terhadap neraca keuangan AISA. Semula, Dunia Pangan akan dijual terlebih dahulu ke PT Jom Prawarsa Indonesia, perusahaan yang masih terafiliasi dengan AISA. Namun tanpa
spin off, AISA akan menjual Dunia Pangan secara langsung ke investor strategis. Menurut Sjambiri, dengan melakukan
spin off terlebih dahulu, utang yang terdapat di Dunia Pangan tak akan terkonsolidasi lagi ke laporan AISA. Sehingga angka kerugian bisa ditekan. Dengan neraca yang lebih baik, AISA berharap bisa mendapatkan pendanaan baru lebih cepat untuk membayar utang. "Tapi sekarang sulit melakukan itu," kata dia. AISA akan tetap berupaya membayar utang obligasinya. Salah satu caranya dengan mencari pinjaman bank. "Kami akan tetap usahakan," ujar Sjambiri. Sejatinya, dengan
spin off divisi beras, AISA berharap
debt to equity ratio (DER) bisa ditekan dari satu kali menjadi 0,6 kali. Di sisi lain, penolakan rencana pemisahan bisnis beras, justru membuat saham AISA terkerek. Kemarin, saham AISA naik 9,05% ke Rp 530 per saham. David Sutyanto, Analis First Asia Capital, mengatakan, pasar justru menilai positif terhadap hasil RUPO yang menolak rencana
spin off. Pasalnya, pasar menilai kalau AISA tidak akan kehilangan aset utamanya untuk sementara waktu. Namun tetap saja masih ada kekhawatiran soal kemampuan pembayaran utang AISA yang serba terbatas. Per September 2017, kas dan setara kas AISA sekitar Rp 126 miliar. Menurut David, agar surat utang tak gagal bayar, AISA harus mencari dana baru. Persoalannya, upaya itu tak mudah dilakukan. Salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah kembali menerbitkan obligasi baru. Tapi dengan
rating turun, ada risiko kupon yang dihasilkan membengkak. Sementara mencari pinjaman pun sama sulitnya karena perbankan juga selektif dalam memberikan kredit. Di tengah sentimen negatif ini, pencarian dana dari
rights issue juga belum bisa jadi solusi. Pasalnya, pasar belum tentu menyerap saham AISA. "Kecuali jika AISA memiliki investor strategis," kata David. Rating turun Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) pun melihat kemampuan AISA membayar utangnya makin terbatas. Pefindo telah menurunkan peringkat AISA dan obligasi AISA tahun 2013 senilai Rp 900 miliar menjadi idBBB dari sebelumnya idA. Pefindo juga masih mempertahankan
rating credit watch with negative impact atas perusahaan ini. Menurut Pefindo, jika divestasi bisnis beras tetap dilakukan, arus kas AISA justru akan tertekan. Padahal, divisi beras memiliki kontribusi yang substansial bagi
cash flow AISA.
Sejak tahun 2012 hingga 2016, rata-rata kontribusi penjualan beras mencapai 63% terhadap pendapatan konsolidasi AISA. Divisi juga berkontribusi 42% terhadap laba kotor AISA. Peringkat kredit yang negatif, merefleksikan risiko
refinancing AISA yang meningkat. "
Credit watch ini akan ditinjau kembali selambat-lambatnya dalam waktu tiga bulan," ujar Vonny Widjaja, Direktur Pefindo. Perubahan
rating akan dipertimbangkan sesuai dengan kondisi AISA serta ketersediaan data serta informasi dari perusahaan. Banyaknya risiko di saham AISA, membuat David menyarankan
hold saham AISA dengan target Rp 550 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia