JAKARTA. Lagi-lagi, badai krisis di kawasan Eropa menyapu pasar saham global. Tak pelak, bursa saham domestik ikut terseret belakangan ini. Sepanjang Mei lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jeblok 8,3% ke posisi 3.832. Memasuki Juni, indeks masih saja lunglai, bahkan sempat terdepak ke level 3.654. Meskipun sempat
rebound dua hari di pekan lalu, tapi indeks belum mampu kembali ke level psikologis 4.000. Adapun, gejolak krisis di Benua Biru diproyeksi masih jauh dari usai. Bahkan, belakangan “penyakit kronis” itu justru menjangkiti negara-negara lain di kawasan tersebut. Tengok saja, Spanyol yang akhirnya meminta
bailout sebesar 100 miliar euro untuk menyelamatkan perbankan yang hampir kolaps. Jika dikabulkan, Negeri Matador itu akan menjadi negara keempat di antara 17 anggota euro yang dibailout, setelah Yunani, Irlandia, dan Portugal.
Akibatnya, muncul kekhawatiran, penyakit di Eropa bisa berimbas ke wilayah lain, termasuk Amerika Serikat (AS). Ketua The Federal Reserves Ben. S Bernanke seperti dikutip Bloomberg, Jumat (8/6), mengakui, masalah pelik di Eropa akan berisiko sangat signifikan pada sistem keuangan negeri Paman Sam. Tak heran, para pengamat pasar domestik menduga, IHSG pun masih akan dibayangi isu negatif global di tahun ini. Belum lagi, kabar dari regional Asia tak terlalu bagus. China, sebagai negara dengan tingkat perekonomian terbesar di kawasan ini juga sedang mengalami perlambatan pertumbuhan. Tapi, jangan buru-buru pesimis. Masih ada faktor fundamental domestik yang dinilai mumpuni menahan guncangan dari luar. Kondisi politik dalam negeri terbilang kondusif, minat berinvestasi di Indonesia pun membaik seiring pencapaian
investment grade yang disematkan beberapa lembaga pemeringkat dunia. Nah, dengan sinyal-sinyal global dan domestik yang berlawanan itu, lantas, kemanakah kira-kira IHSG akan berlabuh hingga akhir tahun ini? Berikut, proyeksi arah pergerakan indeks hasil penerawangan beberapa analis! Pasar masih bimbang Felix Sindhunata, Kepala Riset Henan Putihrai Securities menilai, saat ini, psikologis investor masih meragu. Kepercayaan pasar belum pulih, karena masih banyak pertanyaan menggantung soal situasi di Eropa. Di sisi lain, The Fed dalam pernyataannya baru-baru ini, belum membuka pintu kelanjutan stimulus. Padahal, sebelumnya investor sempat optimis, bank sentral AS itu akan mengucurkan program stimulus atau dikenal dengan
Quantitative Easing (QE) tahap ketiga. Alhasil, kini pasar cenderung
wait and see. Tak heran, Felix menerka, potensi penurunan IHSG masih cukup besar, meski koreksi yang terjadi tidak akan separah ketika di awal krisis. Felix mengingatkan, walaupun indeks sempat
rebound dalam beberapa hari di pekan lalu, tapi kondisi sekarang belum bisa dikatakan sudah membaik. “Sejatinya, tidak ada kabar spektakuler dari global yang bisa mendongkrak indeks sampai melebihi 100 poin seperti yang terjadi di pekan lalu,” ujarnya. Menurutnya,
rebound yang terjadi kemungkinan hanya teknikal atau ada yang melakukan
bargain hunting terbatas di aset berisiko. “Tapi, konsistensi kenaikan masih dipertanyakan. Kalau pemimpin Eropa bisa meyakinkan pasar, maka
rebound market bisa lebih cepat," imbuhnya Meski begitu, Felix mengakui, fundamental makro Indonesia masih bagus. Tapi, bagaimanapun negara kita tak kebal dari efek krisis. Menurutnya, meski pertumbuhan ekonomi nasional masih terbilang bagus, tapi di kuartal pertama tahun ini, angka ekspor dan impor nasional terlihat menurun. Nah, dengan kondisi seperti ini, hasil laporan keuangan emiten akan menjadi justifikasi bagi indeks. “Kalau hasilnya bagus, bisa meningkatkan kepercayaan investor. Tapi, jika sebaliknya, bakal menjadi justifikasi negatif,” ulas Felix. Senada, pengamat pasar modal Jimmy Dimas Wahyu menebak, setidaknya hingga akhir semester satu ini, indeks masih berpeluang turun. Pasalnya, pemulihan krisis di Eropa tak akan tuntas dalam waktu dekat. Lanjut Jimmy, meski masih cenderung loyo, namun
rebound teknikal akan terjadi di tengah-tengah perjalanan indeks. Apalagi, jika muncul katalis positif, berupa data-data ekonomi yang menggembirakan baik dari global maupun fomestik. Misalnya,
rebound yang terjadi selama dua hari di pekan lalu (5-6 Juni). Nah,
penguatan indeks itu diyakini terjadi berkat kabar pemangkasan suku bunga China sebesar 25 basis poin. Tapi, Jimmy bilang, fokus pasar masih tetap soal Eropa, terutama Yunani dan Spanyol. Dalam waktu dekat, belum ada penyelesaian signifikan untuk masalah di sana. Itu sebabnya, dia menduga, indeks masih
downtrend hingga akhir Juni. “Bisa menyentuh
support di kisaran 3.200-3.600," prediksinya. Penghujung tahun, rekor baru? Walau IHSG masih rentan tergelincir, tapi peluang kenaikan di paruh kedua tahun ini sangat terbuka. Sebagian pelaku pasar memang meyakini, otot indeks akan kembali perkasa untuk tren jangka panjang. Sederet alasan, mulai dari daya tahan investor domestik, fundamental ekonomi yang cukup tangguh, rilis laporan keuangan perusahaan, hingga adanya sejumlah emiten yang membagi dividen, menjadi alasan keoptimisan pelaku pasar. Bahkan, Jimmy yang memprediksi jangka pendek indeks masih lesu, pun tetap berkeyakinan indeks bisa kembali berlabuh di teritori positif pada paruh kedua 2012. Dia bahkan melihat indeks berpotensi mencetak rekor baru di penghujung tahun ini. “Optimis bisa menembus kisaran 4.500-4.700,” ungkapnya. Dia bilang, sekalipun krisis Eropa masih membayangi, tapi fundamental domestik cukup tangguh untuk ke depannya. Meski tak dipungkiri terjadi pelemahan, namun ekonomi nasional tidak jeblok. Indikasinya, produk domestik bruto (PDB) di kuartal pertama 2012 masih bertumbuh 6,3%, dari kuartal sebelumnya 6,5%. Pemerintah pun masih yakin target pertumbuhan PDB di tahun ini sebesar 6,5% masih bisa tercapai. Nah, jika data-data ekonomi ke depan menggembirakan, maka pasar bakal lebih percaya diri. "Apalagi, kalau laporan keuangan kuartalan bagus, bisa jadi indikasi kita tidak terimbas krisis. Itu artinya, negara kita tepat untuk investasi," imbuh Jimmy. Willy Sanjaya, pengamat pasar modal dari Lautandhana Securindo bahkan lebih optimis. Di akhir semester pertama ini saja, dia yakin IHSG bisa
rebound dan kembali ke level psikologis 4.000. Maka, tak heran dia sangat percaya diri, target IHSG di 4.500 bakal tercapai pada akhir tahun. Dia bilang, koreksi yang terjadi belakangan ini wajar sebagai imbas sesaat dari pasar global. “Tapi, bagaimanapun indeks tidak akan terus jatuh. Untuk jangka panjang, indeks akan tetap naik dari tahun ke tahun,” sebut Willy. Domestik cukup tangguh Selain fundamental ekonomi masih tangguh, dan daya tahan investor domestik cukup bagus, Willy juga punya alibi berbeda soal krisis. Dia menilai, krisis yang terjadi saat ini berbeda dengan krisis tahun 2008. Dulu, krisis menerpa perusahaan, sedangkan sekarang negara yang terpuruk. Sejatinya, segala kekhawatiran soal Yunani dan Eropa sudah bukan isu baru. “Yang perlu diingat, tidak akan ada negara yang dibiarkan bangkrut. Tak ada sejarah negara bangkrut, beda dengan perusahaan,” tegasnya. Willy menilai, krisis di Benua Biru tak akan berdampak langsung pada ekonomi nasional. Namun, dia tak menampik, Indonesia juga terkena percikan, karena bagian dari pasar global. Tapi, dia melihat, investor domestik cukup memahami inti persoalan saat ini. Indikasinya, IHSG tidak anjlok tajam ketika asing hengkang dari pasar domestik belakangan ini. Katanya, di kala krisis 2008,
net sell asing hanya Rp 2,8 triliun, tapi indeks terjun bebas dari kisaran 2.700 menuju 1.200. Nah, bulan ini, ketika dana asing yang keluar mencapai Rp 11 triliun, indeks hanya rontok sekitar 10%. Tapi, dia mengingatkan, kemungkinan IHSG agak loyo pada Juli, lantaran mendekati final Piala Eropa. Tak sedikit, yang mungkin akan mengalihkan dananya dari pasar saham. "Namun, setelah hajatan tersebut, ekspektasi terhadap laporan keuangan kuartal kedua akan menjadi katalis bagus yang kembali menyokong indeks," tutur Willy. Sedangkan, Felix masih pesimis, IHSG bisa menembus level 4.500 di penghujung tahun ini. Dia hanya memasang target
resistance kuat di kisaran 4.425. “Itu pun dengan persyaratan indeks bisa kembali ke level 4.000 di akhir semester pertama,” ujar Felix.
Selektif buy saat koreksi Lantas, bagaimana sebaiknya investor bersikap di tengah asumsi pasar masih rentan jatuh, namun bakal
rebound untuk jangka panjang? Baik Jimmy, Willy maupun Felix kompak menyarankan investor (jangka panjang) mulai masuk secara bertahap di saat pasar koreksi. Mereka bilang, saham-saham terutama
bluechips dan yang valuasinya sudah murah, layak menjadi incaran. Berikut beberapa sektor, beserta saham-saham pilihan para analis: @ Jimmy Dimas Wahyu Sektor perbankan,
consumer goods dan infrastruktur dipilih, karena sektor-sektor tersebut paling cepat
rebound pasca krisis, terutama perbankan. 1. Perbankan
- Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), target harga akhir tahun di 7.000. Sebaiknya antri beli ketika koreksi di 5.200-5.400
- Bank Central Asia Tbk (BBCA), target harga di 8.500. Antri beli saat terkoreksi di 7.000-7.200
2. Consumer Goods
- Unilever Indonesia Tbk (UNVR), target harga di 22.000. Sebaiknya antri beli saat koreksi di sekitar 20.000
3. Infrastruktur
- Jasa Marga Tbk (JSMR), dengan target harga di 6.500. Koleksi saat koreksi di bawah 5.000
@ Willy Sanjaya 1. Perbankan
- Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dengan target harga hingga akhir tahun di 7.700
- Bank Central Asia Tbk (BBCA), target harga 8.500
- Bank Mandiri Tbk (BMRI), target harga 8.000
2. Pertambangan
- Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA), target harga 20.000
- Harum Energy Tbk (HRUM), target harga 8.000
- Bumi Resources Tbk (BUMI), target harga 2.250
- Adaro Energy Tbk (ADRO), target harga 2.000
@ Felix Sindhunata Merekomendasikan sektor pertambangan, karena valuasinya sangat murah. Juga, sektor perbankan dan
consumer goods, karena keduanya relatif punya
resistance terhadap kondisi global. 1. Perbankan, saham pilihan BBRI, BMRI, dan BBCA 2. Consumer goods, saham pilihan UNVR dan
GGRM 3. Aneka industri, saham pilihan
ASII Saham-saham murah dalam kelompok LQ45 (per 8 Juni 2012)
Sumber: RTI Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini