KONTAN.CO.ID - BEKASI. Himpunan Pengembangan Ekosistem Alkes Indonesia (HIPELKI) menyoroti kemandirian semua dalam ekosistem industri alat kesehatan (alkes) dalam negeri. Ketua Umum HIPELKI, Randy H. Teguh mengatakan masih ada kesenjangan yang belum terjembatani di antara unsur-unsur ekosistem alkes, sehingga langkah menuju kemandirian alkes tidak mulus. “Pandemi Covid-19 telah membuktikan bahwa keberadaan rantai pasok tradisional saja tidak mampu mendukung ketahanan alkes, karena itu diperlukan pembentukan suatu sistem organik yang bisa bergerak cepat dan fleksibel, yaitu ekosistem alkes," ujar Randy dalam acara Kongres Nasional Pertama dengan tema “HIPELKI: Katalisator Transformasi Ekosistem Kesehatan Menuju Ketahanan dan Kemandirian Alkes, Kamis (29/08).
Baca Juga: Pendapatan Itama Ranoraya (IRRA) Tumbuh 48,7% di Semester-1 2024, Ini Pendorongnya HIPELKI mengapresiasi dan mendukung upaya ini, tetapi-bila berkaca dari negara lain yang telah lebih dulu mandiri seperti Cina, Korea, India dan Taiwan, industri alkes menurutnya hanya dapat berkembang bila terbentuk ekosistem alkes yang kuat dan lengkap. Mengutip pendapat Prof. Rhenald Kasali dalam program Intrigue pada bulan Juli 2024 yang lalu, Randy menyatakan bahwa saat ini Indonesia masih berfokus untuk membangun pabrik alkes dan melakukan proteksi, tetapi belum berfokus untuk membangun industri alkes, karena fakta membuktikan bahwa pembangunan ekosistem di sekitar pabrik alkes masih terseok-seok. “Saat ini Indonesia belum memiliki bahan baku dan komponen alkes serta sarana lab uji yang memadai untuk mendukung operasional pabrik alkes secara efektif dan efisien, sehingga harga alkes dalam negeri sulit bersaing dengan alkes impor," tambahnya.
Selain itu, kolaborasi antara peneliti dan pengusaha untuk melakukan penguasaan dan pengembangan teknologi juga masih jauh dari mulus, meskipun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah berinisiatif untuk menjembatani kedua unsur ini dengan meluncurkan Pedoman Hilirisasi Penelitian Alkes Nasional pada tanggal 19 Januari 2024 yang lalu. “Saat ini kita masih harus menerima kenyataan bahwa produk alkes dalam negeri masih tergantung kepada bahan baku, komponen dan teknologi impor, sehingga yang terbangun justru adalah kemandirian semu
(pseudo- resiliency) yang sangat berbahaya untuk masa depan ketahanan alkes," jelasnya. Untuk mengatasi masalah yang terus berlanjut, ia menambahkan semua unsur pemerintah perlu bekerja sama untuk membangun ekosistem alkes. "HIPELKI akan mengambil peran yang strategis untuk menjadi katalisator, “ ujar Randy. Randy juga bilang saat ini hanya ada sekitar 500 pabrik alkes yang masih bertahan dari sekitar 800 pabrik alkes yang ada saat Pandemi Covid-19.
"Dan hal ini patut dikhawatirkan karena mengindikasikan bahwa pembangunan pabrik alkes masih merupakan tindakan reaktif yang tidak berkelanjutan," kata dia. “Kita berharap agar hal ini jangan menjadi awal kematian industri alkes karena selain mengganggu ketahanan kesehatan, juga akan menambah beban ekonomi yang sudah terjadi akibat badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi akhir-akhir ini pada beberapa sektor industri lain," tutupnya.
Baca Juga: Harga Alat Kesehatan Mahal, Aspaki Minta Insentif ke Pemerintah Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati