Kemarau Brazil dan Argentina Dongkrak Harga CPO



JAKARTA. Faktor cuaca membuat harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) terus merambat naik. Sebab, kemarau di Argentina dan Brazil bakal menyusutkan produksi minyak kedelai kedua negara yang menjadi produsen kedelai utama dunia itu.

"Ini akan positif bagi CPO sebab CPO merupakan substitusi minyak kedelai ," kata Ibrahim, analis komoditas dari Asia Kapitalindo. Saat ini, kedua jenis minyak ini menyumbang dua pertiga total kebutuhan minyak nabati dunia.

Selama ini, harga minyak kedelai lebih tinggi ketimbang minyak sawit. Namun, selisih harga keduanya sekarang makin sempit. Bahkan ketika cadangan CPO melimpah ke rekornya, gap harga itu malah mengecil. Tahun ini, selisih harga keduanya rata-rata 45%, turun dari selisih 65% pada kuartal keempat 2008. Ini pertanda bahwa sebagian konsumen beralih dari mengonsumsi minyak kedelai ke CPO.


Pekan lalu, harga CPO memang terus menguat. Jumat (6/1), CPO untuk pengiriman April 2009 di Bursa Berjangka Malaysia naik 1,2% menjadi US$ 522 per metrik ton.

Sementara harga minyak kedelai untuk pengiriman Maret 2009 di Chicago hanya naik 0,7% jadi US$ 778 per metrik ton. Ini sekitar 41% lebih mahal dari CPO. "Perbedaan harga bisa menyempit lagi jika melihat reaksi konsumen terhadap harga keduanya," ujar Analis Citigroup, Penny Yaw kepada Bloomberg.

Selain itu, harga CPO bisa menanjak lantaran kebutuhan CPO masih tinggi. "Permintaan China dan India masih akan besar karena ekonomi mereka tak separah ekonomi Amerika Serikat," ujar Ibrahim. Ketiga negara itu adalah konsumen CPO terbesar dunia. Ia meramal tren harga CPO bullish di sekitar US$ 525-US$ 530 per metrik ton.

Vice President Research Valbury Asia Futures Nico Omer Jonckheere juga memprediksi harga CPO bakal menanjak. "Bisa 10% hingga 20% jadi US$ 550 per ton hingga US$ 600 per ton," ujarnya.

Tapi, kenaikan ini akan berjalan lamban. Maklum, ketersediaan CPO tahun ini berlebih. Malaysia menargetkan rekor produksi di 2009 sebesar 18 juta ton, 2,9% lebih dari tahun lalu. Sedang Indonesia menargetkan 20 juta ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie