Kembali menghijau, PER IHSG masih menarik dibanding bursa lain



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali naik 0,63% ke posisi 4.947,78 pada perdagangan Jumat (5/6). IHSG sempat terkoreksi 0,49% pada perdagangan Kamis (4/6) setelah terus-menerus berada di zona hijau dalam enam hari perdagangan sebelumnya.

Alhasil, penurunan IHSG sepanjang tahun ini sudah mengecil menjadi -21,46%. Hal ini sejalan dengan indeks bursa regional dan global yang turut menguat dalam beberapa hari terakhir.

Dalam sepekan ke belakang, investor asing juga membukukan aksi jual dengan nilai bersih Rp 3,39 triliun di seluruh pasar. Sementara dalam sebulan terakhir, net buy asing tercatat sebesar Rp 11,34 triliun.


Baca Juga: Dalam sepekan, rata-rata frekuensi transaksi harian bursa melesat 25,41%

Meskipun tengah berada dalam tren kenaikan, Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi menilai, price earning ratio (PER) IHSG yang saat ini sebesar 13,9x masih tergolong menarik. Ia membandingkannya dengan rata-rata PER IHSG dalam sepuluh tahun terakhir yang sebesar 16,2x.

Bahkan, Lucky sudah membuat prediksi terkait PER IHSG tahun depan. "Pada 2021, PER IHSG akan berada di level 12,6x, lebih menarik dibandingkan bursa regional lainnya," kata dia saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (5/6).

Ia memperkirakan, PER 2021 indeks Nikkei225 adalah sebesar 20,8x, KOSPI di 15,4x, STI 14,6x, dan SETi 21,2x.

Memang, penurunan IHSG sepanjang tahun ini juga masih jauh lebih besar dibanding bursa regional dan global lainnya. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) per Jumat (5/6), STI di Singapura -14,73% secara year to date (ytd), indeks Nikei225 di Jepang hanya -3,35% ytd, indeks FTSE100 di Inggris -14,96%, dan Indeks Dow Jones di Amerika Serikat -7,91% ytd.

Baca Juga: IHSG menguat 4,91% dalam sepekan, ini sentimen yang jadi penopang

Kepala Riset Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hardy juga berpendapat, PER IHSG saat ini masih sangat murah jika dibandingkan dengan rentang 15x-20x yang dicatatkan pada tahun-tahun sebelumnya.

Akan tetapi, Robertus menilai, tidak tepat untuk membandingkan PER indeks satu negara dengan negara lainnya. "Pasalnya, masing-masing negara memiliki profil risiko yang berbeda, mulai dari nilai tukar, yield obligasi acuan, suku bunga, hingga defisit neraca," kata Robertus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto