Kemdag buka peluncuran kontrak berjangka komoditi



JAKARTA. Kementerian Perdagangan hari ini secara resmi membuka peluncuran kontrak berjangka komoditas untuk kontrak berjangka kopi robusta dan kopi arabika, serta kontrak berjangka emas dan pasar fisik karet di Bursa Berjangka Jakarta (PT BBJ). Peluncuran kontrak berjangka komoditas itu bertujuan mendorong bursa berjangka agar terus mengembangkan kontrak berjangka komoditas baru dan secara inovatif merancang dan memodifikasi kontrak berjangka turunannya.

Diharapkan, fungsi bursa yang sangat strategis, dalam rangka penyediaan sarana demi terselenggaranya transaksi perdagangan berjangka, benar-benar dapat dirasakan manfaatnya bagi pelaku usaha.

“Ini, terutamaa sebagai sarana lindung nilai ( hedging), sarana pembentukan harga (price discovery ) dan alternatif investasi yang sangat diperlukan bagi pelaku usaha untuk melindungi usahanya,” kata Sutriono Edi Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan, Jum'at (20/12) Menurut dia, kopi merupakan komoditas yang sangat tepat untuk diperdagangkan di Bursa Berjangka. Salah satunya mengingat Indonesia sebagai penghasil kopi terbesar ke-3 dunia setelah Brasil dan Vietnam.


Tahun 2012, produksi kopi tercatat sebesar 748 ribu ton per tahun atau 6,6% dari produksi dunia. Jumlah tersebut terdiri dari produksi kopi robusta yang mencapai lebih dari 601 ribu ton (80,4%) dan produksi kopi arabika yang mencapai lebih dari 147 ribu ton (19,6%). Selain itu, luas lahan perkebunan kopi Indonesia mencapai 1,3 juta hektare, dengan luas lahan perkebunan kopi robusta mencapai 1 juta hektare dan kopi arabika seluas 0,3 hektare. Dalam kesempatan tersebut, Direktur Utama PT. BBJ Sherman Rena Krisna menyampaikan bahwa kontrak berjangka yang diluncurkan di BBJ adalah varian kontrak berjangka kopi untuk jenis kopi arabika dan kopi robusta.

Untuk kopi arabika, satuan kontraknya adalah 2 ton (2000 kg), dengan kualitas SNI  Grade 1 Arabica Coffee (No.01-2907-2008) sesuai dengan yang ditentukan Badan Standardisasi Nasional.

Nilai per poin kontrak kopi arabika adalah Rp 50/kg dengan bulan kontrak Maret, Mei, Juli, September, dan Desember.

Sedangkan untuk kopi robusta, satuan kontraknya adalah 5 ton (5000 kg), dengan kualitas SNI  Grade IV-B Robusta Coffee  (No. 01-2907-2008) sesuai dengan ketentuan Badan Standardisasi Nasional.

Nilai per poin untuk kontrak kopi robusta adalah Rp 10/kg, dengan bulan kontrak Januari, Maret, Mei, Juli, September, dan November. Titik temu untuk penyampaian barang yaitu di Palembang, Bandar Lampung, Jakarta, dan Surabaya. “Kontrak berjangka kopi bukanlah barang baru di Indonesia, namun demikian BBJ mengemas kontrak kopi dengan lebih baik, untuk memenuhi seluruh kebutuhan pasar,”  imbuh Dirut PT BBJ. Sementara itu, lanjut Kepala Bappebti, kontrak emas pada dasarnya sangat menarik mengingat kontrak tersebut banyak diminati para investor sebagai produk investasi yang aman. Hal ini dikarenakan kemudahan akses untuk mendapatkan emas di tempat, dan kemudahan penyerahan emas yang diinginkan buyers, serta harganya yang menarik karena bersifat fluktuatif.  Sedangkan untuk karet, sebagai produsen karet terbesar ke-2 dunia setelah Thailand, Indonesia dipastikan berpeluang besar mengekspor karet alam hasil produksinya dengan catatan adanya peningkatan produksi karet Indonesia ( sumber: Direktorat PHPP Kementan ).

Hal ini mengingat kurangnya pasokan karet dunia dimana konsumsi karet dunia diperkirakan mencapai 11,15 juta ton, sedangkan berdasarkan data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO), untuk tahun 2011 produksi karet alam dunia diasumsikan hanya berkisar 10,97 juta ton sehingga terjadi kekurangan pasokan atau minus sekitar 181.000 ton. Kurangnya produk karet alam dunia di tahun 2011 salah satunya dikarenakan terganggunya produksi karet di beberapa negara seperti Australia. Hujan deras yang disebabkan oleh lanina telah menyebabkan banjir di negara tersebut dan mengganggu proses penyadapan karet.

Asosiasi natural rubber producing countries di Thailand memperkirakan pada musim dingin yang berlangsung mulai Februari-Mei berdampak pada menurunnya produk karet alam hingga 50%. Pada tahun 2002 tercatat produksi karet Indonesia mencapai 1,6 juta ton. Jumlah ini meningkat pada tahun 2007 menjadi 2,8 juta ton, walaupun produk karet sempat turun pada tahun 2009 menjadi 2,5 juta ton.

Sementara di tahun 2010, Indonesia hanya mampu memberikan kontribusi untuk kebutuhan karet dunia sebanyak 2,41 juta ton atau di bawah produksi Thailand sebesar 3,25 juta ton. Selain itu, sangat tepat apabila karet diperdagangkan di Pasar Fisik BBJ, mengingat lahan produksi Indonesia yang luasnya mencapai 3,4 juta hektare; diikuti Thailand dan Malaysia masing-masing sebesar 2,6 juta hektare dan 1,02 juta hektare, sehingga Indonesia sebagai produsen karet dunia akan memilikikedaulatan dalam menentukan harga karet dunia. Perkembangan transaksi perdagangan berjangka komoditas multilateral dari sisi kuantitas sudah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Namun dari sisi kualitas, terutama proses terjadinya transaksi, masih perlu diperbaiki.

Sampai dengan akhir November 2013 tercatat transaksi komoditas primer sebesar 1.171.745 lot yakni 5,26% dari total volume transaksi perdagangan berjangka sebesar 22.242.921 lot. Jumlah ini meningkat 3% dari transaksi pada tahun 2012 yang mencapai 1.136.336 lot. Perkembangan tersebut tentunya belum seimbang dengan transaksi multilateral di Bursa Berjangka. "Dalam upaya mendorong peningkatan transaksi multilateral di Bursa Berjangka, Bappebti terus mendorong Bursa Berjangka dan para anggotanya untuk terus melakukan transaksi multileral di Bursa Berjangka hingga 30%. Selanjutnya, Bursa diharapkan untuk mengembangkan beberapa produk potensial lainnya dengan merancang produk baru dan turunannya agar lebih menarik pasar sehingga memberikan dampak yang baik bagi likuiditas pasar di Bursa Berjangka,"  tandas Kepala Bappebti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan