KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa hari terakhir menghangat topik rencana pembatasan penggunaan minyak sawit oleh Uni Eropa, termasuk minyak sawit produksi Indonesia. Tak sedikit orang yang menganggap bahwa sikap "diskriminatif" tersebut bagian dari konspirasi persaingan bisnis. Apa sebenarnya yang terjadi? Berikut penjelasannya. Renewable Energy Directive II (RED II) merupakan regulasi yang dibuat oleh Uni Eropa (UE). Beleid tersebut mengatur kebijakan UE terkait penggunaan energi terbarukan untuk periode 2020 hingga 2030.
Pada 13 Maret lalu, konsep sekaligus aturan turunan dari RED II tersebut telah disampaikan oleh Komisi Eropa dalam bentuk Delegated Regulation. Apabila mendapat persetujuan dari Parlemen Eropa dan Dewan Eropa, regulasi tersebut akan resmi berlaku dua bulan sejak disampaikan atau pada 12 Mei mendatang. RED II dan Delegated Regulation mengklasifikan produk kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan, sekaligus berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) atau indirect land-use change (ILUC) (Delegated Regulation/DR Article 3 and Annex). Jika resmi berlaku, ada beberapa ketentuan yang akan mempengaruhi penggunaan sawit dalam bahan bakar di UE.
Pertama, RED II menetapkan kewajiban UE untuk memenuhi target 14% energi terbarukan pada sektor transportasi. Ketetapan ini sebagai bagian target total energi terbarukan sebesar 32% pada tahun 2030.
Kedua, pada 2020 sampai 2023, penghitungan bahan bakar nabati yang berisiko tinggi Indirect Land Use Change (High-Risk ILUC) dibatasi maksimum sebesar konsumsi pada tahun 2019. Artinya, konsumsi minyak sawit UE akan dikunci pada volume tertentu maksimum sepanjang periode tersebut. Sementara, untuk komoditas yang berisiko rendah Indirect Land Use Change (Low-Risk ILUC) dibatasi sebesar konsumsi pada tahun 2020 dengan batas maksimum 7% dari total konsumsi biofuel Setelah itu, mulai Januari 2024, baru kalkulasi untuk komoditas yang berisiko tinggi Indirect Land Use Change (ILUC) alias minyak sawit diturunkan secara bertahap (phase-out) sampai 0% pada tahun 2030.
Artinya, penggunaan minyak sawit di Uni Eropa akan terus dikurangi hingga mencapai nol pada 2030 sesuai dengan tujuan RED II. Oleh karena itu, pemberlakuan aturan Uni Eropa ini akan sangat mempengaruhi industri sawit Indonesia, sebagai negara penghasil dan eksportir sawit terbesar di dunia. "Industri dan perkebunan rakyat sawit kita mempekerjakan sekitar 19,5 juta orang, termasuk 2,6 juta petani kecil. Kalau minyak sawit dihambat-hambat, pasti akan berdampak. Ini sudah kita sampaikan kepada UE," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Jumat (12/4). Gangguan dan diskriminasi kelapa sawit tentunya juga akan berdampak negatif terhadap program pengentasan kemiskinan dan menghambat pencapaian Indonesia dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hasbi Maulana