Kemenaker: Revisi Aturan Pengupahan dan Outsourcing Akan Libatkan Pengusaha dan Buruh



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tengah proses merevisi PP nomor 35 tahun 2021 dan PP nomor 36 tahun 2021.

Adapun PP 35/2021 mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja. Sedangkan PP 36/2021 mengatur tentang Pengupahan.

Dirjen PHI Jamsos Indah Anggoro Putri menyampaikan, revisi PP 35/2021 terkait dengan pekerja alih daya atau outsourcing. Sementara revisi PP36/2021 akan terkait dengan formula penetapan upah minimum.


Indah menjelaskan alasan direvisi pengaturan alih daya. Yakni untuk memberi peluang dan kesempatan bagi pekerja sebagai pekerja tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

Baca Juga: Perppu Cipta Kerja, Kemenaker Tegaskan Tak Ada Penghapusan Hari Libur Pekerja

“Kalau terlalu dibuka seperti di UU CK maka pengusaha akan terus outsourcing saja, sementara di dalam Perppu ini kita sudah mulai membatasi. Jadi ada kepastian para pekerja untuk mendapatkan pekerjaan yang sifatnya PKWTT atau tetap,” ujar Indah dalam konferensi pers, Jumat (6/1).

Adapun pengaturan pekerja alih daya diatur dalam pasal 64 kluster ketenagakerjaan Perppu Cipta Kerja. Sebelumnya dalam UU Cipta Kerja tidak ada pembatasan jenis pekerjaan alih daya.

Kemudian, Indah mengatakan, revisi PP 36/2021 akan terkait dengan formula penetapan upah minimum. Kemenaker akan mencantumkan variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

“Namun demikian dua variabel itu pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang ada tidak langsung serta-merta ditambah ya, tapi kami juga menggunakan indeks tertentu. Sudah disinggung tadi di Perppu,” ucap Indah.

Indah menambahkan, indeks tertentu akan dikaitkan nanti laju kenaikan besaran upah minimum sesuai dengan fugsinya sebagai jaring pengaman. Ia menyebut, indeks tertentu belum diputuskan secara konkret karena Kemenaker harus membahas lagi di forum Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional. Forum tersebut terdiri dari perwakilan pengusaha, pekerja dan pemerintah.

“Tapi indeks ini tentu saya pastikan adalah indeks ketenagakerjaan. Nanti wabil khusus nya apa dari ketenagakerjaan nanti hasil diskusi dengan tripartit nasional akan kami infokan dan itu akan kita cantumkan secara jelas dalam revisi PP 36/2021,” jelas Indah.

Indah menekankan, apapun indeksnya yang nanti menjadi keputusan maka harus dipahami bahwa upah minimum akan sebagai jaring pengaman sosial bagi pekerja baru. Yakni pekerja yang baru masuk pasar kerja dengan usia kerja 1 tahun ke bawah. Upah minimum bertujuan untuk memastikan mereka tidak masuk dalam jurang kemiskinan.

“Jadi nanti besaran nya upah minimum kita akan cermati betul supaya dari tahun ke tahun naiknya tidak terlalu tinggi banget, tapi juga tidak terlalu rendah,” ujar Indah.

Indah menyatakan, saat ini Kemenaker tengah proses merevisi kedua PP tersebut. Langkah awal akan dimulai dengan pembahasan di internal Kemenaker bersama biro hukum membahas perubahan substansi PP.

Setelah mempunyai konsep perubahan, Kemenaker akan membawanya ke forum LKS tripartit nasional untuk dibahas.

“Targetnya kapan? Bu menteri sudah memerintahkan kepada saya secepatnya selesai. InsyaAllah dalam waktu tidak lama nanti akan segera keluar, doain kita bisa sehat dan cepet kerjanya ya,” pungkas Indah.

Baca Juga: 9 Fakta Perppu Cipta Kerja 2022, dari Libur MIngguan hingga Pesangon

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia), Adi Mahfudz Wuhadji mengatakan, ada beberapa penguatan dalam perppu tersebut yang mendapat perhatian. Diantaranya terkait kepastian hukum. 

"Dengan kehadiran Perppu Cipta Kerja berikut turunannya, tentu kami berharap memperoleh kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan yang berpihak secara menyeluruh, khususnya terhadap keberlangsungan dunia usaha dan pekerja," kata Adi.

Adi mengakui, beberapa pasal dalam perppu masih menjadi polemik dan krusial. Beberapa di antaranya perlu mendapat perhatian dan butuh disikapi bersama segera.

Beberapa poin ini antara lain, pasal 64 tentang alih daya atau outsourcing. Dia menjelaskan, pekerja outsourcing bukanlah buruh upah murah, melainkan pekerja dengan kompetensi atau skill yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Karena itu, kiranya ruang lingkup untuk pekerja ini tidak dibatasi, melainkan diperketat pengawasannya.

"Sebagai bagian dari penciptaan lapangan kerja melalui pertumbuhan industri, alih daya memegang peranan dalam memenuhi kebutuhan adanya keterampilan kerja dan penyediaan sumber daya manusia yang memungkinkan bagi industri untuk berfokus melaksanakan strateginya," kata Adi. 

Apalagi, perusahaan penanaman modal asing (PMA) juga terbiasa dengan skema alih daya karena menawarkan fleksibilitas bisnis sebagai bagian dari ekosistem dunia usaha yang sehat. 

"Karena itu, sesuai amanat pasal 64 perppu ini, semestinya yang dilakukan adalah perluasan mekanisme alih daya di dunia usaha Tanah Air, dengan fokus pembatasannya pada praktik yang tidak sesuai dengan perundang-undangan,” ucap Adi.

Dalam catatan Kadin, pekerja alih daya merupakan bagian dari penyokong industri lainnya. Alih daya memiliki potensi sumbangsih besar terhadap produktivitas dan peningkatan daya saing industri Tanah Air. Pada tahun 2015, potensi pasar bisnis alih daya yaitu mencapai Rp 39,5 triliun, atau dengan pertumbuhan 130,32% dibanding 2014 yang sebesar Rp 17,15 triliun. 

Pasal lainnya yang menjadi perhatian bagi Kadin yaitu mengenai Pasal 88F tentang Upah Minimum, di mana dalam keadaan tertentu, pemerintah dapat menetapkan formula dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. 

Menurut Adi, perlu penegasan lagi mengenai keadaan yang dimaksud pemerintah, termasuk hal khusus atau hal yang dikecualikan.

Selama ini, yang dimaksud dengan hal keadaan tertentu biasanya terjadi dalam situasi darurat kebencanaan, yang memang sangat terkait dengan situasi kondisi perekonomian, baik terpengaruh situasi ekonomi global maupun nasional. 

Baca Juga: Perppu Cipta Kerja Banjir Kritik, Airlangga: Demokrasi Harus Ada yang Memberi Kritik

Pemerintah sebelumnya mengatakan, mengenai formula penghitungan upah minimum, termasuk indeks, akan diatur juga dalam Peraturan Pemerintah (PP). Dalam perumusan PP tersebut, Adi berharap, ruang dialog dan komunikasi dalam peraturan pelaksana dapat disesuaikan lebih jelas.

Kadin juga meminta Dewan Pengupahan yang memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat dan daerah, diajak turut serta dalam lingkup tripartit, sebagaimana disebut dalam pasal 98 perppu. 

"Dalam penyusunan PP sebagai amanat dari perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja ini, kami berharap adanya keterlibatan tripartit untuk duduk bersama berdiskusi mengenai pembentukan regulasi turunan yang mengakomodir dan melindungi hak-hak pengusaha dan pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan," tutur Adi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .