KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor. Salah satunya mengatur soal impor tesktil dan produk tekstil batik dan motif batik untuk keperluan instansi atau lembaga kementerian atau untuk kepentingan umum. Menanggapi aturan itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengkhawatirkan nasib para pengrajin batik yang mayoritas merupakan industri kecil menengah (IKM). "Poin tersebut dikhawatirkan memberikan celah untuk masuknya kain bermotif batik dan akan berdampak kepada pengrajin batik yang mayoritas adalah IKM," ujar Jemmy saat dihubungi Senin (18/12). Baca Juga: APSyFI Kritik Permendag Nomor 36/2023 Soal Kebijakan dan Pengaturan Impor Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menilai kebijakan tersebut sangat tidak tepat. Pasalnya, pemerintah yang seharusnya memenuhi kebutuhan akses pasar untuk para produsen produsen dalam negeri, justru mereka sendiri yang memotong akses tersebut. "Nah ini yang kalau menurut saya memang tidak tepat. Karena sektor bisnis yang sekarang itu justru membutuhkan akses pasar lebih luas di dalam negeri ditengah keterbatasan atau penurunan dari luar negeri salah satunya adalah tekstil dan produk tekstil," ujar Faisal kepada Kontan. Pasalnya, permintaan ekspor tekstil dalam negeri mengalami penurunan yang cukup drastis dalam setahun terakhir. "Harusnya pemerintah mengarahkan untuk akses pasar alternatif salah satunya yang dilakukan adalah pasar dalam negeri," ujar dia. "Seharusnya APBN prioritas penggunaanya untuk produk lokal, karena jika tekstil terutama batik kan produsennya banyak di dalam negeri kita," imbuhnya. Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Law and Economic Studies (Celios), Nailul Huda menilai kebijakan itu cacat secara hukum. "Pemerintah menggunakan barang impor saja sudah aneh, apalagi batik yang sudah jelas memiliki nilai dan sejarah di Indonesia," ujar Huda kepada kontan. Kata dia, impor batik atau kain bermotif batik ini sudah terjadi cukup lama. Impor batik dari China sangat kencang sekali dan sudah menutup puluhan produsen batik dalam negeri. Baca Juga: Ini 14 Isu Strategis dalam Putaran ke-16 Perundingan Indonesia-EU CEPA Tapi memang pengendaliannya hanya sebatas “diperketat”, bukan dilarang. Harusnya jika dilarang untuk masuknya batik atau kain bermotif batik dari luar negeri, terutama dari China. "Pemerintah harus lebih menghargai produsen-produsen batik yang sudah beroperasi lama. Mereka membuat batik dengan seni dan kelihaian tangan, bukan dari “print”," tambahnya. Menurutnya, pemerintah seyogyanya menetapkan penggunaan batik yang bukan dari impor, melainkan dari produsen batik lokal masing-masing daerah. "Pasti kan alasannya untuk seragam dengan kapasitas produksi besar. Itu hanya alasan saja untuk bisa mengimpor kain batik," ujarnya.
Kemendag Longgarkan Impor Produk Tekstil Batik, Pengamat Khawatirkan Nasib IKM
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor. Salah satunya mengatur soal impor tesktil dan produk tekstil batik dan motif batik untuk keperluan instansi atau lembaga kementerian atau untuk kepentingan umum. Menanggapi aturan itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengkhawatirkan nasib para pengrajin batik yang mayoritas merupakan industri kecil menengah (IKM). "Poin tersebut dikhawatirkan memberikan celah untuk masuknya kain bermotif batik dan akan berdampak kepada pengrajin batik yang mayoritas adalah IKM," ujar Jemmy saat dihubungi Senin (18/12). Baca Juga: APSyFI Kritik Permendag Nomor 36/2023 Soal Kebijakan dan Pengaturan Impor Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menilai kebijakan tersebut sangat tidak tepat. Pasalnya, pemerintah yang seharusnya memenuhi kebutuhan akses pasar untuk para produsen produsen dalam negeri, justru mereka sendiri yang memotong akses tersebut. "Nah ini yang kalau menurut saya memang tidak tepat. Karena sektor bisnis yang sekarang itu justru membutuhkan akses pasar lebih luas di dalam negeri ditengah keterbatasan atau penurunan dari luar negeri salah satunya adalah tekstil dan produk tekstil," ujar Faisal kepada Kontan. Pasalnya, permintaan ekspor tekstil dalam negeri mengalami penurunan yang cukup drastis dalam setahun terakhir. "Harusnya pemerintah mengarahkan untuk akses pasar alternatif salah satunya yang dilakukan adalah pasar dalam negeri," ujar dia. "Seharusnya APBN prioritas penggunaanya untuk produk lokal, karena jika tekstil terutama batik kan produsennya banyak di dalam negeri kita," imbuhnya. Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Law and Economic Studies (Celios), Nailul Huda menilai kebijakan itu cacat secara hukum. "Pemerintah menggunakan barang impor saja sudah aneh, apalagi batik yang sudah jelas memiliki nilai dan sejarah di Indonesia," ujar Huda kepada kontan. Kata dia, impor batik atau kain bermotif batik ini sudah terjadi cukup lama. Impor batik dari China sangat kencang sekali dan sudah menutup puluhan produsen batik dalam negeri. Baca Juga: Ini 14 Isu Strategis dalam Putaran ke-16 Perundingan Indonesia-EU CEPA Tapi memang pengendaliannya hanya sebatas “diperketat”, bukan dilarang. Harusnya jika dilarang untuk masuknya batik atau kain bermotif batik dari luar negeri, terutama dari China. "Pemerintah harus lebih menghargai produsen-produsen batik yang sudah beroperasi lama. Mereka membuat batik dengan seni dan kelihaian tangan, bukan dari “print”," tambahnya. Menurutnya, pemerintah seyogyanya menetapkan penggunaan batik yang bukan dari impor, melainkan dari produsen batik lokal masing-masing daerah. "Pasti kan alasannya untuk seragam dengan kapasitas produksi besar. Itu hanya alasan saja untuk bisa mengimpor kain batik," ujarnya.