JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemendag) meminta wacana penurunan Bea Keluar (BK) terhadap produk hilir minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) seperti biodiesel dipertimbangkan. Pasalnya, dengan penurunan BK tersebut dikhawatirkan program mandatori bahan bakar minyak nabati (BBN) untuk mengurangi impor migas terancam gagal. Muhammad Lutfi Menteri Perdagangan mengatakan, pihaknya tetap konsisten terhadap hilirisai produk. "Tentunya kita mesti pertahankan dulu BK-nya agar produk jadinya bisa lebih baik, ini yang perlu kita pelajari sama-sama," kata Lutfi, Senin (5/5). Seperti diketahui, untuk menekan defisit perdagangan migas (minyak dan gas) Indonesia, pemerintah menerapkan program subsitusi bahan bakar solar dengan biodiesel. Program pencampuran solar dengan biodiesel tersebut akan terus bertambah persentasenya. Catatan saja, sejak tahun lalu campuran biodiesel terhadap bahan bakar solar ditetapkan sebesar 10% atau sering disebut dengan B10. Sebelumnya, campuran biodiesel terhadap minyak solar dipatok sebesar 7,5%. Mandatori penggunaan biodiesel tersebut menurut Lutfi sangat strategis. Dia menghitung, penghematan devisa dari program campuran biodiesel dengan minyak solar tersebut mencapai US$ 3,5 miliar. "Multiplier effect yang sangat tinggi, yaitu pembayaran pajak ke dalam negeri, mempekerjakan orang-orang Indonesia, dan subsidi dibayar di dalam negeri. Jadi kita mesti dukung sama-sama," kata Lutfi. Seperti diketahui, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) saat ini tengah mengkaji perubahan BK ekspor produk turunan CPO, termasuk biodiesel. Kemenperin menganggap Biodiesel seharusnya tidak dikenai BK karena sudah merupakan produk akhir. Pengurangan atau bahkan penghapusan diperlukan untuk memperkuat pasar. Apalagi, saat ini CPO mendapat serangan berupa kampanye negatif dari Uni Eropa dan Amerika Serikat yang notabene produsen minyak nabati non sawit.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kemendag minta penurunan BK CPO dikaji dulu
JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemendag) meminta wacana penurunan Bea Keluar (BK) terhadap produk hilir minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) seperti biodiesel dipertimbangkan. Pasalnya, dengan penurunan BK tersebut dikhawatirkan program mandatori bahan bakar minyak nabati (BBN) untuk mengurangi impor migas terancam gagal. Muhammad Lutfi Menteri Perdagangan mengatakan, pihaknya tetap konsisten terhadap hilirisai produk. "Tentunya kita mesti pertahankan dulu BK-nya agar produk jadinya bisa lebih baik, ini yang perlu kita pelajari sama-sama," kata Lutfi, Senin (5/5). Seperti diketahui, untuk menekan defisit perdagangan migas (minyak dan gas) Indonesia, pemerintah menerapkan program subsitusi bahan bakar solar dengan biodiesel. Program pencampuran solar dengan biodiesel tersebut akan terus bertambah persentasenya. Catatan saja, sejak tahun lalu campuran biodiesel terhadap bahan bakar solar ditetapkan sebesar 10% atau sering disebut dengan B10. Sebelumnya, campuran biodiesel terhadap minyak solar dipatok sebesar 7,5%. Mandatori penggunaan biodiesel tersebut menurut Lutfi sangat strategis. Dia menghitung, penghematan devisa dari program campuran biodiesel dengan minyak solar tersebut mencapai US$ 3,5 miliar. "Multiplier effect yang sangat tinggi, yaitu pembayaran pajak ke dalam negeri, mempekerjakan orang-orang Indonesia, dan subsidi dibayar di dalam negeri. Jadi kita mesti dukung sama-sama," kata Lutfi. Seperti diketahui, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) saat ini tengah mengkaji perubahan BK ekspor produk turunan CPO, termasuk biodiesel. Kemenperin menganggap Biodiesel seharusnya tidak dikenai BK karena sudah merupakan produk akhir. Pengurangan atau bahkan penghapusan diperlukan untuk memperkuat pasar. Apalagi, saat ini CPO mendapat serangan berupa kampanye negatif dari Uni Eropa dan Amerika Serikat yang notabene produsen minyak nabati non sawit.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News