Kemenhut tampik terbitkan peraturan yang berpotensi tambah kerusakan hutan



JAKARTA. Kecaman Greenpeace terkait keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) yang mengakomodasi kelapa sawit sebagai bagian dari tanaman hutan dan berpotensi menambah kerusakan hutan gambut serta memperbanyak emisi karbon ditampik oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto.

Hadi menegaskan jika Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) nomor 62/Menhut/II/2011 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Berbagai Jenis pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK/HTI), yang memasukkan kelapa sawit dalam hutan tanaman tidak akan merusak hutan gambut atau pun hayati di sekitarnya. Dalam peraturan itu tertuang banyaknya hutan tanaman kelapa sawit yang maksimal hanya boleh 10% dari jumlah hutan di Indonesia.

“Ini berkurang drastis. Kalau di Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan nomor 614 tahun 1999 tentang pedoman pembangunan hutan tanaman campuran dikatakan kalau pada saat itu besaran kelapa sawit sekitar 40%. Sawitnya banyak sekali ketimbang hutan, saat itu ciri hutan kita hilang. Kalau sekarang (Permenhut 62) ini tidak sama sekali merusak,” ujar Hadi kepada KONTAN, Kamis (22/9).


Ia juga menjelaskan, nantinya kelapa sawit yang menjadi hutan tanaman hanya akan menggunakan areal eks Hutan Tanaman Industri (HTI) yang rusak. Namun, sambungnya, dengan tahap, pertama, pemerintah harus yakinkan jika areal HTI itu benar-benar rusak melalui analisis penafsiran citra satelit. Lalu, selanjutnya, pemerintah membuat tata ruang mikro (mosaik) di atas peta, atau gambaran mana yang hutannya masih cukup baik mana yang buruk. “Dari situ nantinya pemerintah akan mempresentasikan tanaman berbagai jenis seperti apa yang ingin ditanam apakah karet, kayu kelapa, aren atau sawit. Di sini, kita tidak membongkar alam atau memangkas hutan alam untuk tanaman ini. Tapi kita menggunakan hutan yang rusak,” tegasnya.

Saat ini Indonesia memiliki areal eks HTI sebanyak 35,4 juta hektare (ha) dan yang sudah dialokasikan untuk hutan tanaman sejenis Kelapa Sawit, Aren, Karet dan Kayu Kelapa sekitar 9 juta ha. Dengan adanya peraturan pembangunan hutan berbagai jenis yang dikeluarkan 25 Agustus 2011 dan diundangkan pada 6 September 2011 ini malah baginya bisa mendorong upaya investasi.

Serta menyediakan lapangan kerja dan memberikan keuntungan terhadap hasil budidaya tanaman itu. “Ini budidaya tanaman yang menguntungkan. Menyerap banyak tenaga kerja apalagi saat ini tengah moratorium TKI. Kayu sawit sudah bisa diolah buat mebel dan kayu lapis plywood,” tambahnya.

Terkait emisi karbon yang dihasilkan kelapa sawit, Hadi menegaskan sawit tidak menghasilkan karbon yang besar, tapi hanya sekitar 17 sampai 20 ton karbon per hektare. Dia beralibi emisi tanah kosong yang berisi alang-alang saja bisa menghasilkan karbon 5 ton per hektare. “Emisi karbonnya tidak banyak. Emisi karbon yang ada lebih banyak itu dari hutan yang dipangkas,” tutupnya.

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi menegaskan dirinya menolak adanya Permenhut nomor 62 itu. Ia malah meminta agar Kemenhut segera mencabut karena Permenhut dianggap bertentangan dengan laporan Badan Pengawas Keuangan (BPK). Tidak hanya itu, dia juga menjelaskan jika pasal 39 peraturan pemerintah nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2008 tidak bisa dijadikan dasar hukum Permenhut 62 tahun 2011 untuk mengalihkan izin-izin sawit. “Dalam kenyataannya, Permenhut tersebut tidak ada dasarnya,” ucap Elvian.

Dia beranggapan Permenhut tersebut sangat berbahaya dalam penegakan hukum kehutanan Republik Indonesia. Tidak hanya itu, ia juga menyatakan Permenhut 62 bisa dinilai sebagai bentuk perlawanan terhadap laporan BPK. Sebelumnya, BPK menyatakan areal konsesi sawit milik Grup Sinarmas yang berlokasi di Provinsi Kalimantan Tengah itu masih dinyatakan berada di dalam kawasan hutan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.