KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang melakukan evaluasi terhadap keberlanjutan program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang telah berlangsung sejak April 2020 dan akan berakhir pada Desember tahun ini. Evaluasi dilakukan menyusul besarnya penerimaan negara yang hilang akibat program harga gas US$ 6 per mmbtu yang ditujukan kepada 7 industri tertentu ini. Sejak program ini digulirkan, pemerintah telah kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp 45,06 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebijakan HGBT didesain untuk tidak hanya mampu meningkatkan daya saing korporasi dan menguatkan perekonomian, namun juga menjaga kesehatan dari fiskal/APBN sendiri.
“Kesehatan #APBNKiTa penting untuk terus dijaga agar Indonesia mampu terus melanjutkan agenda pembangunan,” jelas Menteri Sri Mulyani seperti dikutip dari laman instagram pribadinya, Jumat (22/3).
Baca Juga: Datangkan Banyak Manfaat, Kemenperin Minta HGBT Tetap Dilanjutkan Meskipun tidak menjadi bagian dari program subsidi energi yang tercantum dalam APBN, program harga gas murah untuk industri tertentu ini telah menggerogoti pendapatan negara. Pasalnya berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 121 Tahun 2020 tentang penetapan harga gas bumi tertentu (HGBT), penerimaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tidak boleh berkurang alias
kept-whole untuk memasok gas murah kepada industri. Sehingga jika harga gas di hulu diturunkan, maka konsekuensinya penerimaan negara harus dikurangi. Selama periode 2021-2023, berdasarkan perkiraan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kementerian ESDM, nilai pendapatan negara yang hilang di sektor hulu migas akibat program HGBT mencapai sekitar Rp 45,06 triliun. Perinciannya, penerimaan negara tahun fiskal 2023 sekitar US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 15,67 triliun (kurs Rp 15.676 per dolar AS), tahun 2021 sebesar Rp 16,46 triliun dan Rp 12,93 triliun pada tahun 2022. Sementara selama hampir 4 tahun ini, belum ada data riil yang disampaikan oleh kementerian terkait mengenai dampak ekonomi yang hasilkan dari para industri pengguna gas murah.
Baca Juga: Keberlanjutan Kebijakan Harga Gas Murah Industri Masih Tanda Tanya, Ini Penyebabnya Mengacu pada Perpres 121 tahun 2020, 7 sektor industri tertentu penerima gas US$ 6 per mmbtu meliputi kelistrikan, pupuk, petrokimia, keramik, baja, sarung tangan dan oleokimia. Sementara berdasarkan data berdasarkan data pemerintah pada tahun 2022, komponen biaya gas dalam struktur produksi ke 7 industri penerima subsidi sangat bervariasi. Industri pupuk merupakan yang tertinggi dengan komponen biaya gas mencapai 58,48 persen. Kemudian kaca 24,84 persen, keramik 17,87 persen, oleokimia 8,96 persen dan petrokimia sekitar 7,72 persen. Kontribusi biaya gas di industri baja sekitar 7,26 persen dan yang paling rendah industri sarung tangan sebesar 5,90 persen. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang diterbitkan oleh S&P Global. Dalam rilisnya pada 1 Februari 2024, mengungkapkan bahwa ekspansi cepat yang terjadi sektor manufaktur pada awal bulan tahun 2024 karena faktor naiknya permintaan, bukan di dorong oleh daya saing.
Baca Juga: Tarik Ulur Kebijakan Harga Gas Murah untuk Sektor Industri Terus Berlanjut S&P Global menyatakan bahwa pertumbuhan sektor manufaktur mengalami percepatan, didukung oleh faktor kenaikan permintaah baru yang lebih cepat karena kondisi permintaan secara keseluruhan membaik dan basis pelanggan naik. Permintaan asing juga membaik, namun kecepatan pertumbuhan permintaan ekspor masih marginal.
Staf ahli menkeu Prof Dr Candra Fajri Ananda menyarakan pemerintah agar lebih berani mengambil kebijakan secara tegas terhadap keberlanjutan program HGBT. Apalagi hingga tahun kelima progam ini berjalan, sejumlah industri penerima manfaat gagal menaikkan kontribusinya kepada ekonomi nasional. “Dari 7 sektor industri yang mendapatkan subsisi HGBT industri pupuk paling memiliki multiplier effect. Karena itu, jika kebijakan ini dihentikan harga pupuk dipastikan akan melambung. Karena itu program seperti ini harus lebih difokuskan ke industri yang berdampak pada hajat hidup orang banyak seperti pupuk,” saran Guru Besar Fakultas Ekonomi Unibraw Malang, Prof Dr Candra Fajri Ananda pekan lalu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto