JAKARTA. Pemerintah akan segera merevisi besaran royalti batubara untuk pengusaha penambangan pemegang izin usaha penambangan (IUP) di luar pengusaha pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menuturkan pemerintah tengah merevisi beleid yang salah satunya mengatur tentang besaran royalti batubara untuk pengusaha penambangan pemegang IUP. Revisi ini dilakukan untuk mengubah besaran tarif royalti batubara pemegang IUP. "Kami mengusulkan (tarif royalti) 10%, tapi kami harus berkoordinasi dengan Kementerian ESDM," ujarnya Selasa malam (28/5). Catatan saja, selama ini besaran royalti batubara pemegang IUP diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.9 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam lampiran beleid ini disebutkan royalti batubara untuk IUP ditetapkan sebesar 3% dari harga jual untuk batubara dengan kalori kurang dari 5.100 kalori/kg (Kkal/kg), sebesar 5% untuk batubara dengan tingkat kalori antara 5.100 Kkal/kg - 6.100 Kkal/kg, dan sebesar 7% dari harga jual untuk batubara dengan tingkat kalori lebih dari 6.100 Kkal/kg. Menurut Bambang, setelah diterbitkannya UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terdapat sekitar 10.000 perusahaan pemegang IUP baru yang diterbitkan di sektor tambang mineral dan batubara. Dari jumlah itu, sekitar 60% merupakan IUP mineral dan sisanya sekitar 40% perusahaan pemegang IUP untuk tambang batubara. Kenaikan royalti batubara untuk pemegang IUP ini tentu saja bakal menambah penerimaan negara dari royalti. Hanya saja, Bambang belum mau mengungkapkan berapa besar potensi penerimaan tambahan akibat rencana kenaikan royalti batubara ini. Ia hanya menggambarkan, selama ini penerimaan negara dari royalti mineral dan batubara sekitar Rp 20 triliun. "Kalau royalti ini diperbaiki dari IUP, diharapkan (penerimaan negara) makin tinggi," jelas Bambang. Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa menuturkan, selama ini masih banyak pengusaha tambang pemegang IUP yang belum tertib dalam membayar pajak dan royalti. Makanya, saat ini pemerintah tengah menata kembali aturan pengenaan royalti bagi pengusaha tambang batubara. "Royalti akan dilihat dari skala (produksinya). Tapi, sekecil apa pun royalti harus dibayar," ungkapnya beberapa waktu lalu. Selain menegakkan asas keadilan, upaya perbaikan kembali besaran royalti pengusaha pertambangan batubara ini merupakan salah satu cara pemerintah untuk menggenjot penerimaan bukan pajak (PNBP) khususnya di sektor pertambangan. Catatan saja, dalam RAPBNP 2013 pemerintah mematok penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 344,5 triliun, naik dari APBN 2013 yang sebesar Rp 332,2 triliun. Dari jumlah itu, PNBP dari sumber daya alam SDA ditargetkan sebesar Rp 201,7 triliun, lebih tinggi dari target dalam APBN 2013 yang sebesar Rp 197,2 triliun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kemenkeu ingin naikkan royalti batubara jadi 10%
JAKARTA. Pemerintah akan segera merevisi besaran royalti batubara untuk pengusaha penambangan pemegang izin usaha penambangan (IUP) di luar pengusaha pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menuturkan pemerintah tengah merevisi beleid yang salah satunya mengatur tentang besaran royalti batubara untuk pengusaha penambangan pemegang IUP. Revisi ini dilakukan untuk mengubah besaran tarif royalti batubara pemegang IUP. "Kami mengusulkan (tarif royalti) 10%, tapi kami harus berkoordinasi dengan Kementerian ESDM," ujarnya Selasa malam (28/5). Catatan saja, selama ini besaran royalti batubara pemegang IUP diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.9 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam lampiran beleid ini disebutkan royalti batubara untuk IUP ditetapkan sebesar 3% dari harga jual untuk batubara dengan kalori kurang dari 5.100 kalori/kg (Kkal/kg), sebesar 5% untuk batubara dengan tingkat kalori antara 5.100 Kkal/kg - 6.100 Kkal/kg, dan sebesar 7% dari harga jual untuk batubara dengan tingkat kalori lebih dari 6.100 Kkal/kg. Menurut Bambang, setelah diterbitkannya UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terdapat sekitar 10.000 perusahaan pemegang IUP baru yang diterbitkan di sektor tambang mineral dan batubara. Dari jumlah itu, sekitar 60% merupakan IUP mineral dan sisanya sekitar 40% perusahaan pemegang IUP untuk tambang batubara. Kenaikan royalti batubara untuk pemegang IUP ini tentu saja bakal menambah penerimaan negara dari royalti. Hanya saja, Bambang belum mau mengungkapkan berapa besar potensi penerimaan tambahan akibat rencana kenaikan royalti batubara ini. Ia hanya menggambarkan, selama ini penerimaan negara dari royalti mineral dan batubara sekitar Rp 20 triliun. "Kalau royalti ini diperbaiki dari IUP, diharapkan (penerimaan negara) makin tinggi," jelas Bambang. Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa menuturkan, selama ini masih banyak pengusaha tambang pemegang IUP yang belum tertib dalam membayar pajak dan royalti. Makanya, saat ini pemerintah tengah menata kembali aturan pengenaan royalti bagi pengusaha tambang batubara. "Royalti akan dilihat dari skala (produksinya). Tapi, sekecil apa pun royalti harus dibayar," ungkapnya beberapa waktu lalu. Selain menegakkan asas keadilan, upaya perbaikan kembali besaran royalti pengusaha pertambangan batubara ini merupakan salah satu cara pemerintah untuk menggenjot penerimaan bukan pajak (PNBP) khususnya di sektor pertambangan. Catatan saja, dalam RAPBNP 2013 pemerintah mematok penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 344,5 triliun, naik dari APBN 2013 yang sebesar Rp 332,2 triliun. Dari jumlah itu, PNBP dari sumber daya alam SDA ditargetkan sebesar Rp 201,7 triliun, lebih tinggi dari target dalam APBN 2013 yang sebesar Rp 197,2 triliun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News