Kemenkeu kaji aturan pajak WNI di luar negeri



JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang menelisik peraturan pajak warga negara Indonesia (WNI). Kemungkinan pengenaan pajak yang berbeda bagi warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri ataupun warga negara asing keturunan Indonesia menjadi pembelajaran bagi Kemenkeu untuk menentukan putusan. Kajian ini terkait dengan rencana Bank Indonesia (BI) untuk mengeluarkan instrumen deposito non resident bagi WNI yang tinggal di luar negeri. Untuk instrumen baru ini, BI perlu bekerja sama dengan pemerintah. Pasalnya akan ada semacam insentif pajak yang diberikan agar menarik minat. Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan aspek legalitas instrumen ini sedang dibahas terutama soal pajak. Apakah mungkin peraturan pajak bisa membedakan warga negara. Karena tentunya akan ada perlakuan pajak khusus bagi para WNI yang tinggal di luar negeri tersebut. "Mesti dipelajari karena ini menyangkut warga negara asing," ujar Chatib kepada KONTAN, Rabu (19/2). Dirinya menjelaskan, ide awal BI tentang deposito non residen ini meniru India. Di India banyak warga negaranya yang tinggal di luar. Kemudian dibuatlah instrumen agar warga negara India yang tinggal di luar tersebut bisa membawa pulang valuta asing (valas) miliknya. Menilik aturan pajak sendiri, diatur perihal subjek pajak pribadi. Subjek pajak yang terkena wajib pajak (WP) dalam negeri adalah orang Indonesia yang tinggal di Indonesia atau orang luar negeri yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan. Kalau orang asing yang tinggal di Indonesia kurang dari ketentuan tersebut tidak dikenakan aturan pajak dalam negeri alias adalah wajib pajak luar negeri.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kismantoro Petrus menjelaskan dalam aturan pajak tidak melihat subjek pajak berdasarkan orang Indonesia asli atau tidak. Yang dilihat adalah bagaimana orang tersebut berada di Indonesia. Jadi dalam persoalan instrumen deposito non residen ini, menurut Kismantoro, WNI yang tinggal di luar negeri hitungannya adalah wajib pajak luar negeri. Kalau wajib pajak luar negeri baik berketurunan Indonesia atau tidak sudah mempunyai fasilitas khusus yang namanya tax treaty. Asal tahu, tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Kalau ada tax treaty antara Indonesia dengan negara tempat WNI di luar berada maka pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) mengacu ke tax treaty yang disepakati bersama. Kalau tidak ada tax treaty maka pengenaan PPh mengacu pada aturan yaitu 20% dari jumlah bruto dan bersifat final. "Makanya tidak perlu ada tambahan fasilitas lagi," tandas Kismantoro.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan