Kemenkeu kejar piutang obligor BLBI Rp 31 triliun



JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Kementerian Keuangan saat ini masih menangani persoalan piutang dari 22 obligor yang terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Pokoknya 22 obligor yang ditangani Kemenkeu," kata Sri Mulyani di Jakarta, Jumat (28/4). Ia belum mau menjelaskan detail proses penyelesaian kasus 22 obligor BLBI yang ditangani oleh Kementerian Keuangan.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Sonny Loho menambahkan, jumlah total piutang yang sedang dikejar oleh Kemenkeu dari 22 obligor tersebut mencapai Rp 31 triliun.


"Itu yang masih kita urus, yang dulu waktu dilimpahkan, belum selesai. Itu diurusnya di Kemenkeu, ada yang kerja sama dengan Kejaksaan dan Kepolisian," ujarnya.

Sonny memastikan proses penagihan tersebut terus berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, termasuk melalui prosedur audit untuk menghindari terjadinya sengketa. "Kalau masih ada perkara hukum, kita beresi dulu. Kadang-kadang ada yang berpendapat mereka tidak ada utang lagi, tapi menurut kita masih ada. Ini masih diusahakan terus," tuturnya.

Terkait kasus BLBI yang dibuka kembali oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sonny tidak bisa berkomentar banyak karena Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam kasus tersebut sudah diterbitkan, meski kemudian dipermasalahkan. "Karena waktu sudah dilimpahkan, sudah selesai," ujarnya.

Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dalam kasus BLBI. KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka karena saat menjabat sebagai Kepala BPPN pada 2004 diduga mengusulkan pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

Hasil restrukturisasi itu adalah sebanyak Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak. Sedangkan, sisanya Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi tersebut. Dengan demikian, terdapat kewajiban BDNI sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

(Satyagraha)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini