KONTAN.CO.ID - Kementerian Keuangan menyadari bahwa mencapai target pajak Rp1.988,9 triliun pada tahun 2024 tidak mudah. Ada sederet permasalahan yang dapat menjadi ganjalan seperti tensi geopolitik yang semakin memanas dan perubahan iklim yang memicu krisis pangan dalam jangka waktu lama. Perang Rusia dan Ukraina hingga kini belum menampakkan penyelesaian. Ditambah lagi konflik di kawasan Timur Tengah yang bersumber dari perang antara Israel dan Hamas. Ketegangan Amerika Serikat (AS) dan China juga patut dicermati karena akan memberikan pengaruh terhadap perdagangan global. Berbagai risiko ketidakpastian global tersebut menjadi tantangan dalam pencapaian penerimaan target pajak tahun depan. Tantangan ini menjadi permasalahan yang harus dihadapi Kemenkeu sembari mengejar realisasi penerimaan pajak tahun ini.
Kinerja penerimaan tersebut bisa lebih lambat dari tahun sebelumnya karena beberapa hal, di antaranya penurunan signifikan harga komoditas, penurunan nilai impor, dan tidak berulangnya kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Kebijakan pajak 2024
Untuk menyikapi tantangan tersebut, kebijakan umum perpajakan 2024 pun diarahkan untuk mendukung proses transformasi ekonomi agar terus berjalan di tengah berbagai tantangan. Hal ini dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan terkait Pengawasan Pembayaran Masa (PPM) dan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM). Selain itu, kebijakan lain juga dilakukan untuk mengoptimalkan capaian penerimaan pada tahun mendatang antara lain mendorong tingkat kepatuhan dan integrasi teknologi dalam sistem perpajakan, memperluas basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, memperkuat sinergi melalui joint program, memanfaatkan data, dan melakukan tindakan penegakan hukum. Pemerintah turut menjaga efektivitas implementasi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk mendorong peningkatan rasio perpajakan dan insentif perpajakan yang semakin terarah dan terukur guna mendukung iklim dan daya saing usaha, serta transformasi ekonomi yang bernilai tambah tinggi. Secara teknis, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menegaskan Kemenkeu bakal menindaklanjuti program pengungkapan sukarela dan implementasi NIK sebagai NPWP. Melalui Ditjen Pajak, Kemenkeu juga akan menguatkan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan, seperti implementasi penyusunan Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4) dan prioritas pengawasan atas WP
High Wealth Individual (HWI) beserta WP Group, transaksi afiliasi, dan ekonomi digital. Dari sisi penegakan hukum, Ditjen Pajak tetap akan menjunjung tinggi prinsip yang berkeadilan dengan mengoptimalisasi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan pemanfaatan kegiatan
digital forensics. Ditjen Pajak optimis dapat mengatasi seluruh tantangan mengingat
Core Tax Administration System (CTAS) akan diimplementasikan pada pertengahan tahun 2024. Melalui implementasi CTAS, diharapkan sistem informasi serta proses bisnis Ditjen Pajak dapat semakin terintegrasi dan andal sehingga menjadikan Ditjen Pajak sebagai institusi penerimaan negara yang kuat, kredibel, dan akuntabel. Dengan upaya-upaya tersebut, pajak diharapkan menjadi instrumen kebijakan fiskal, baik untuk mendukung program pemerintah maupun dalam kondisi darurat (
discretionary measures). Instrumen yang dimaksud Iantara lain: PPN tidak terutang atas pengusaha kecil (omzet sampai dengan Rp4,8 M), PPN dibebaskan atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan kesehatan,
Tax Holiday & Tax Allowance, Pengurangan 50 persen tarif PPh bagi WP badan UMKM (omzet s.d Rp50 M), PPh final 0,5% untuk WP dengan omzet usaha tertentu sesuai PP 55 2022, pembebasan PPh final untuk WP OP dengan omzet tertentu sesuai PP 55 2022 dengan omzet s.d. Rp500 juta, Free Trade Zone (dibebaskan PPN dan PPnBM), Kawasan Ekonomi Khusus (tidak dipungut PPN dan PPnBM), PPN tidak dipungut di Kawasan Berikat, pembebasan PPN atas impor atau penyerahan mesin dan/atau peralatan, PPN tidak dipungut atas alat angkutan tertentu, PPN DTP atas rumah, serta PPN DTP atas mobil listrik. Insentif tersebut sudah berjalan dan diharapkan akan berlanjut pada 2024 mendatang. Kemenkeu optimis
Meskipun ekonomi global belum stabil dan konflik geopolitik terus bergejolak, Kemenkeu optimis dapat mencapai target penerimaan pajak pada tahun 2024. Target 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun tumbuh 9,4% dibandingkan perkiraan realisasi 2023 yang mencapai Rp1.818,2 triliun. Dwi mengatakan, target itu dapat terlaksana bila pembenahan dan optimalisasi kebijakan dapat berjalan dengan lancar di sisa tahun 2023 dan tahun 2024. “Penerimaan pajak tahun 2024 diharapkan tumbuh meningkat dibandingkan tahun 2023 sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan didukung oleh berbagai kebijakan pajak yang optimal,” kata Dwi. Berdasarkan catatan Kemenkeu, penerimaan pajak untuk periode Januari – September masih tumbuh positif terutama didukung oleh kinerja kegiatan ekonomi yang baik. Realisasinya mencapai Rp1.387,78 triliun (80,78% dari target) atau tumbuh 5,9%. PPh Migas tercatat sebesar Rp 54,31 triliun pada September 2023, atau turun 12,66% dari posisi tahun lalu. Data Kemenkeu juga menunjukkan PPh Non Migas mencapai Rp 771,75 triliun atau 88,34% dari target. Angka ini naik 6,69% per September 2023 dari posisi yang sama tahun lalu. Sementara itu, PPN & PPnBM tercatat sebesar Rp 536,73 triliun atau 72,4% dari target. PPN & PPnBM ini tumbuh 6,39% per September 2023. Selanjutnya, PPh Migas sebesar Rp 54,31 triliun atau 88,4% dari target tahun ini. Namun, pertumbuhannya terkontraksi sebesar 12,64%.
Terakhir, PBB & pajak lainnya tembus Rp 24,99 triliun per September 2023. Nilai ini setara dengan 62,45% dari target tahun ini. Setoran PBB & pajak lainnya ini tumbuh 22,52% dibandingkan September 2022. Maka dari itu, penerimaan pajak diperkirakan akan mencapai realisasi yang lebih besar dari target APBN 2023 yang sebesar Rp1.718 triliun. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil dan
spillover effect dari kenaikan harga komoditas tahun 2022. Profit tahun 2022 pada SPT Tahunan yang disampaikan dan dibayarkan PPh terutang pada April 2023 pun turut memberi dampak positif. Di akhir tahun 2023, pertumbuhan penerimaan terutama ditopang oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), yang diperkirakan tumbuh 10,9 persen menjadi Rp811,4 triliun sejalan dengan peningkatan konsumsi. Kemudian Pajak Penghasilan juga diproyeksikan tumbuh 8,6 persen menjadi Rp1.139,8 triliun. Sementara PBB dan Pajak Lainnya diperkirakan tetap Rp37,7 triliun. Selain itu, strategi pemberian berbagai insentif perpajakan yang tepat dan terukur juga diharapkan mampu mendorong percepatan pemulihan dan peningkatan daya saing investasi nasional, serta memacu transformasi ekonomi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ridwal Prima Gozal