KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyelesaian utang rafaksi minyak goreng masih bergulir. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kementrian Perdagangan (Kemendag), Isy Karim mengatakan saat ini penyelesaian utang rafaksi minyak goreng baru di bahas bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Dalam pembahasan tersebut, dilibatkan pula para pelaku usaha minyak goreng yang terdiri dari produsen dan peritel, kemudian juga jajaran menkopolhukam termasuk juga Kementerian Perdagangan untuk mencari soluasi persama penyelesaian utang rafaksi minyak goreng.
Baca Juga: Tiga Korporasi Jadi Tersangka, Pemerintah Diminta Perbaiki Tata Kelola Minyak Goreng "Intinya untuk mencari solusi. Jadi kita ingin tahu dulu hasil rapat yang kemarin, meskipun rapat kemarin kan mengundang juga kejaksaan, kemudian mengundang dari pelaku usaha," kata Isy saat dijumpai di gedung parlemen, Rabu (21/6). Namun begitu, Isy tidak menjelaskan detile apa saja hal yang telah dibahas dalam pertemuan itu. Selain itu, ia katakan terkait dengan penyelesaian utang ini, pihaknya masih menunggu hasil verifikasi dari BPKP soal angka pasti utang yang harus dibayarkan oleh pemerintah. "Karena juga terjadi perbedaan angka dari tagihan yang klaim dari itu kan sekitar Rp 800 lebih. Kemudian dari hasil yg dilakukan verifikasi oleh Sucofindo, itu kan sekitar Rp400 berapa. Nah, ini kan perlu kesatuan angka," terang Isy. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menyebut ada perbedaan angka soal tagihan rafaksi minyak goreng yang dilakukan surveyor, PT Sucofindo dan pelaku usaha. Mendag mengatakan, total tagihan yang diajukan oleh pelaku usaha sebesar Rp 812 miliar. Sementara, hasil dari verifikasi oleh surveyor PT Sucofindo hanya mencapai Rp 474 miliar. Dengan begitu, terdapat perbedaan sebesar Rp 338 miliar.
Baca Juga: Kejaksaan Agung Tetapkan 3 Korporasi Jadi Tersangka Kasus Minyak Goreng Untuk menindaklanjuti persoalan utang itu, Zulhas mengatakan telah bersurat kepada Badan Pemeriksa Keungan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit utang itu. "Kami berkirim surat ke auditor negara apakah BPK atau BPKP agar selisih harga yang benar itu yang mana. Karena yang yang bayar bukan kita, tapi BPDPKS. Sekali lagi kami minta audit dari auditor negara" kata Zulhas dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI, Selasa (6/5). Mendag menyebut, perbedaan angka ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya klaim penyaluran yang tidak dilengkapi bukti sampai pengecer, biaya distribusi yang tidak dapat diyakini hingga penyaluran yang melebihi tenggat waktu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .