KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membeberkan masih ada sejumlah kendala pelaksanaan harga gas bumi tertentu (HGBT) hingga saat ini yakni masih ada industri yang belum menerima harga gas bumi tertentu dan pembatasan pasokan gas di bawah volume kontrak. Plt. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Ignatius Warsito menyatakan, ada industri yang belum menerima harga gas bumi tertentu. Seluruh industri yang direkomendasikan oleh Menteri Perindustrian mulai dari April 2021 hingga Agustus 2022 belum menerima HGBT. “Contohnya Aneka Gas Industri, PT Krakatau Posco, dan sekitar 100 industri lainnya,” jelasnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (11/4).
Baca Juga: Kebijakan Harga Gas Murah Bikin Penerimaan Negara Turun Rp 26 Triliun Selain itu PT Kaltim Parna Industri (KPI) produsen amonia bahkan membayar harga gas bumi mencapai US$ 15/MMBTU. Adapun Pupuk Iskandar Muda (PIM) belum mendapatkan HGBT untuk pasokan bahan baku gas bumi sebesar 40 BBTUD sepanjang 2022, meskipun sudah masuk dalam Kepmen ESDM Nomor 134K/2021. Tidak hanya itu, Warsito mengemukakan, masih ada industri penerima gas bumi yang membayar gas di atas US$ 6 per MMBTU. Misalnya saja di Sumatera Utara PT Domas Agrointi Prima yang membayar gas senilai US$ 8,6 per MMBTU, PT Unilever Indonesia (US$ 6,24/MMBTU), Pupuk Iskandar Muda (US$ 6,56/MMBTU). Selain itu, Warsito menjelaskan lebih jauh, kendala lain yang dialami industri saat ini ialah masih adanya pembatasan pasokan gas bumi di bawah volume kontrak. Misalnya saja di Jawa Timur terjadi pembatasan kuota antara 26% hingga 80% kontrak dan pengenaan surcharge harian untuk kelebihan pemakaian dari kuota yang ditetapkan di hampir seluruh perusahaan. Beberapa perusahaan yang mengalami pembatasan di Jawa Timur ialah PT Madu Lingga Rahardja, PT Petrwowidada, PT Ispatindo, PT Petrokimia Gresik, dan PT Ispatindo, PT Samator dan lainnya. Warsito menjelaskan, pembatasan kuota HGBT di Jawa TImur karena persoalan yang beragam. Misalnya kontrak antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dengan KKKS alokasinya tidak cukup untuk industri di Jawa Timur.
Baca Juga: Hadapi Sunset Industry, Pengamat: Revisi UU Migas Harus Segera Diselesaikan “Ini kan dibagi sama pembangkit listrik itu, jadi yang pasti mereka utamakan listrik dahulu baru industrinya. Itu yang kami banyak keluh kesahnya di Jawa Timur,” jelasnya. Sedangkan untuk perusahaan di Jawa Barat yang mengalami pengurangan kuota HGBT hingga pada kisaran 83% hingga 97% kontrak terjadi pada hampir seluruh perusahaan seperti PT Cabot Indonesia, PT Perlite, dan lainnya. Warsito menegaskan, permasalahan inilah yang harus dievaluasi bersama dengan menyamakan sumber gas dengan kebutuhan industrinya. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tutuk Ariadji menjelaskan, persoalan pembatasan kuota karena adanya sejumlah persoalan di hulu migas, salah satunya kesalahan operasional. “Gas diambil dari bawah permukaan tanah, ada metode tertentu yang mengestimasikan cadangannya. Meski sudah ada rencana pengembangan, kadangkala setelah dibor tidak sesuai dengan yang diharapkan,” jelasnya dalam kesempatan yang sama. Misalnya saja di Kangean yang produksi gasnya semakin turun karena banyak air yang masuk ke dalam sumur. Akhirnya sumur gas tersebut mati akibat kesalahan operasional sehingga pasokan gas ke industri menjadi kurang. Atau persoalan lainnya, yakni mundurnya suatu proyek gas bumi karena ada persoalan tertentu. Akhirnya pasokan yang diharapkan belum bisa tersedia sehingga tidak sesuai dengan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) yang sudah dibuat sebelumnya. “Kalau begini akan ada pinalti sesuai dengan perjanjian
business to business antara perusahaan yang bersangkutan,” ujar Tutuka.
Baca Juga: Harga Komoditas Energi Menguat dalam Sebulan, Ini Prospeknya di Tahun 2023 Perihal harga gas yang belum merata di US$ 6/MMBTU karena adanya keterbatasan keuangan pemerintah dalam membayarkan kewajibannya kepada kontraktor.
Kewajiban pemerintah kepada kontraktor ini sejatinya tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) 121 Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Dalam beleid tersebut menyatakan penerimaan KKKS tidak boleh berkurang (
kept-whole) di saat HGBT dilaksanakan. Artinya, jika harga gas di hulu mau diturunkan, maka penerimaan negara yang harus dikurangi. Dalam dua tahun terakhir terjadi penurunan penerimaan bagian negara akibat penyesuaian harga gas bumi dalam rangka implementasi Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor yang senilai Rp 16,46 triliun pada 2021 dan Rp 12,93 triliun pada 2022. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .