Kemenperin desak Jepang investasi mesin tekstil di Indonesia



JAKARTA. Kementerian Perindustrian mendesak Jepang berinvestasi mesin tekstil di Indonesia. Hal itu sebagai upaya untuk menekan porsi impor mesin tekstil dari China. "Daripada kita impor terus dari China yang juga kompetitor kita (di sektor tekstil), lebih baik Jepang yang investasi di sini," ucap Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, Kamis (22/9). Hidayat menjelaskan, terdapat sekitar 2500 mesin tekstil di Indonesia yang baru sebagian kecilnya direstrukturisasi. Sisanya, masih harus menjalankan proses restrukturisasi agar memiliki mesin berkualitas yang bisa dipakai mendongkrak daya saing produk Indonesia. Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang Yukio Edano yang berkunjung ke Indonesia mengaku tertarik dan berencana merespons segera. Apalagi, dia menjanjikan, investasi pada industri barang modal akan mendapat fasilitas pembebasan atau pengurangan pembayaran pajak dalam waktu tertentu (tax holiday). Rencananya, investasi pada sektor mesin pertekstilan itu dapat direalisasikan setidaknya 2012. Namun, Jepang meminta agar Indonesia memperbaiki iklim investasi, infrastruktur, dan aksi pungutan liar. "Saya menjanjikan iya," ucapnya. Dirjen Industri Berbasis Manufaktur Kementerian Perindustrian Panggah Susanto ikut menambahkan, investasi pada bidang mesin pertekstilan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas serat kain dan garmen. Apalagi, untuk restrukturisasi mesin tekstil itu membutuhkan dana yang cukup besar. Dari sekitar 1.000 perusahaan tekstil, sekitar 600 unit harus mendapatkan restrukturisasi. Anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp 250 miliar. Dana berhasil yang dikantongi sebesar Rp 150 miliar. "Kita masih minta Rp 100 miliar lagi, pada APBN Perubahan supaya jadi Rp 250 miliar," tuturnya. Anggaran tersebut baru sekitar 10% dari total kebutuhan restrukturisasi mesin tekstil sebesar Rp 2,5 triliun. "Masih butuh 10 kali lipat lagi untuk menyelesaikan program ini," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.