KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merilis Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Oktober 2023 yang menunjukkan ekspansi dengan capaian 50,70, namun terjadi perlambatan dari angka 52,51 di September 2023. Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif menuturkan industri manufaktur di tanah air sedang mengalami tekanan cukup berat dari kondisi di global maupun domestik. Saat ini, perekonomian dunia masih belum menentu dan tetap mengalami perlambatan karena adanya dampak perang Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel. "Hal ini sejalan dari hasil Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada bulan yang sama, dengan posisi 51,5, turun dari September di posisi 52,3, sesuai yang dilansir oleh S&P Global," paparnya dikutip dari keterangan resmi, Rabu (1/11).
Baca Juga: Rupiah Ditutup Dekati Rp 16.000 Per dolar AS, Jelang Rapat The Fed Untuk PMI manufaktur Indonesia, Febri mengatakan kondisi telah berada di posisi ekspansi selama 26 bulan berturut-turut. Meskipun industri manufaktur tengah mengalami gempuran yang bertubi-tubi, namun dari tingkat kepercayaan diri atau optimismenya masih cukup tinggi. Namun, Febri menyebutkan bahwa sektor industri saat ini masih terus menghadapi hantaman bertubi-tubi yang mempengaruhi produktivitas dan daya saingnya. Selain kondisi ekonomi global yang berpengaruh pada permintaan, sektor manufaktur juga mengadapi nilai tukar Rupiah yang melemah yang berakibat pada melonjaknya harga bahan baku dan biaya produksi. "Selanjutnya, eskternalitas lain yang berdampak terhadap industri manufaktur, adalah kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang tidak berjalan dengan baik. Beberapa industri justru membeli harga di atas USD6/MMBTU, sehingga menurunkan daya saing produk mereka,” kata Febri. Menurutnya, HGBT untuk sektor industri harus terlaksana dengan tepat sesuai peraturan yang berlaku. Sebab, adanya isu kenaikan HGBT akan berpengaruh terhadap daya saing industri. Perluasan program HGBT itu juga akan berdampak terhadap peningkatan investasi sektor industri di Indonesia karena adanya ketersediaan energi yang kompetitif. Apalagi, pemerintah fokus untuk terus meningkatkan investasi dan kinerja sektor industri manufaktur karena menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional, tuturnya. Febri mencatat, beberapa kendala terhadap penerapan HGBT, antara lain adalah sektor industri mengalami pembatasan pasokan gas bumi dibawah volume kontrak. Misalnya, di Jawa Timur terjadi pembatasan kuota antara 27%-80% kontrak dan pengenaan surcharge harian untuk kelebihan pemakaian dari kuota yang ditetapkan di hampir seluruh perusahaan. Selanjutnya, masih ada industri penerima HGBT yang mendapatkan harga di atas US$ 6 per MMBTU, dan bahkan ada sektor industri pengguna yang belum menerima HGBT. Sektor industri tersebut sudah direkomendasikan oleh Menperin mulai periode April 2021 Agustus 2022.
Baca Juga: Pengusaha Mulai Was-was dengan Prospek Sektor Manufaktur ke Depan “Kami mendorong agar kebijakan HGBT bagi sektor manufaktur dapat dijalankan dengan menegakkan aturan-aturannya,” tegas Jubir Kemenperin.
Terkait capaian PMI Manufaktur Indonesia pada Oktober 2023, Jingyi Pan selaku Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence menyampaikan bahwa sektor industri manufaktur di Indonesia terus berekspansi pada awal triwulan keempat. Namun demikian, tanda-tanda perlambatan lebih lanjut pada momen pertumbuhan telah terlihat, termasuk perlambatan kedua secara berturut-turut pada pertumbuhan permintaan baru dan kontraksi baru pada permintaan ekspor baru, ungkapnya. PMI Manufaktur Indonesia pada Oktober 2023 mampu melampaui PMI Manufaktur Amerika Serikat (50,0), Korea Selatan (49,8), Vietnam (49,6), Myanmar (49,0), Jepang (48,7), Taiwan (47,6), Thailand (47,5), Malaysia (46,8), Inggris (45,2), dan Jerman (40,7). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .