Kementerian ESDM Bentuk Pokja Khusus Persiapan Larangan Ekspor Timah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin menyampaikan sejak kurang lebih dari 6 bulan yang lalu, ESDM membentuk kelompok kerja (Pokja) untuk mengantisipasi larangan ekspor logam timah. 

Pokja ini terdiri dari Kementerian Lembaga (K/L) pemerintahan, asosiasi profesi, termasuk Kadin, dan pihak lainnya untuk diajak berdiskusi. 

“Kalau boleh berpendapat juga ini adalah persiapan larangan ekspor yang paling serius yang kami siapkan jadi pada gilirannya nanti akan dilaporkan rekomendasi dari Pokja ini,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII, Rabu (1/2). 


Ridwan menjelaskan lebih jauh mengenai peningkatan nilai tambah jika logam diolah menjadi produk hilir. Misalnya saja, jika timah diproduksi menjadi Tin Soldier nilai tambah bisa naik 1,1 kali lipat dibandingkan logam timah. Kemudian jika menjadi Tin Chemical nilai tambah akan naik 1,75 kali lipat dan jika menjadi Tinplate akan meningkat 1,5 kali lipat. 

Baca Juga: Produksi Timah Indonesia Tumbuh Lebih dari 50% Sepanjang 2022

Hasil Pokja menganalisis mengenai aspek teknis dan ekonomi dari sejumlah produk hilir timah tersebut. Ridwan memaparkan, jika logam timah diproduksi menjadi timah soldier, capex yang dibutuhkan untuk membangun pabrik diperlukan modal Rp 20 miliar. Lalu jika mau membangun pabrik Tin Chemical dibutuhkan investasi Rp 300 miliar dan untuk Tinplate dibutuhkan dana Rp 2,3 triliun. 

Adapun rata-rata waktu yang diperlukan untuk membangun pabrik tersebut kurang lebih dua tahun. 

“Jika larangan ekspor logam timah dilakukan dalam waktu dekat, maka kami juga menghitung dan menyiapkan sejumlah strategi,” ujarnya. 

Strategi tersebut ialah merangkul pemain-pemain global yang sudah ada agar berkolaborasi melaksanakan investasi di hilirisasi timah. Menurutnya, kerja sama ini sangat diperlukan karena komoditas hilir timah hanya diperlukan sedikit-sedikit dalam produk akhir misalnya handphone, komputer, otomotif, dan lainnya. 

Baca Juga: Jokowi Tegaskan Hilirisasi SDA Prioritas Investasi Sambut Ekonomi Baru Masa Depan

Kerja sama ini didorong oleh Ridwan lantaran penyerapan timah di dalam negeri masih mini. Meski Indonesia merupakan produsen dan pemasok logam timah nomor dua terbesar di dunia, rata-rata penyerapan timah dalam negeri rata-rata hanya 5% saja. 

Maka itu, Ridwan menyatakan, Indonesia perlu waktu setidaknya dua tahun menunggu pembangunan pabrik hilir timah sebelum melarang ekspor. “Kemudian juga dukungan kebijakan insentif dan lainnya yang saat ini belum ada,” terangnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .