Kementerian ESDM dorong pengembangan Bio-CNG untuk subtitusi LPG



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM mendorong pengembangan biogas menjadi Biomethane-Compressed Natural Gas (Bio-CNG)sebagai pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) untuk industri. 

Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengungkapkan penggunaan Bio-CNG untuk substitusi LPG diharapkan juga bisa dilakukan dalam skala komersial sebagai bahan bakar transportasi. Pengembangan Bio-CNG ini diharapkan dapat mempercepat peningkatan kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.

Feby menambahkan, Bio-CNG ini merupakan pemurnian biogas (pure methene) dengan memisahkan komponen karbon dioksida (CO2) dan karbontetraoksida (CO4) serta menghilangkan komponen gas imperitis lainnya untuk menghasilkan gas metan dengan kadar di atas 95%. "Karakteristik dari biometan ini menyerupai dengan CNG", kata Feby dalam keterangan resmi, Sabtu (10/7).


Menurut Feby, sebagai negara penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan sumber daya alam, Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan limbah CPO, limbah pertanian, dan peternakan menjadi biogas serta biomethane. "Manfaatnya (Bio-CNG) cukup signifikan karena saat ini Indonesia masih mengimpor LPG dalam jumlah besar serta sumber bahan baku untuk memproduksi Bio CNG cukup beragam," jelas Feby.

Baca Juga: Sah! PLN akuisisi 100% saham MCTN, siap kelola pembangkit listrik Blok Rokan

Adapun, Kementerian ESDM bersama dengan Global Green Growth Institute (GGGI) telah melakukan studi pasar pengembangannya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Studi itu akan segera dilanjutkan dengan pendampingan teknis untuk persiapan implementasi pembangunan bio-CNG. "Walau kita punya potensi bio-CNG cukup besar, tapi belum bisa berkembang komersial. Banyak tantangan yang menjadi tugas kita bersama, baik dari sisi kebijakan keekonomian, teknik, dan tata niaga," kata Feby.

Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi, Efendi Manurung memaparkan, pengembangan Bio-CNG lebih difokuskan pada transfer teknologi serta mendorong keterlibatan peneliti dan penggiat teknologi untuk berinovasi dalam pengembangan biogas.

"Untuk infrastruktur Bio-CNG saat ini relatif belum ada, belum terimplementasikan, tetapi kita masi tahap koordinasi mendorong, memfasilitasi, dan menyusun regulasi yang berkaitan dengan percepatan implementasi pemanfaatan Bio CNG", ujar Efendi.

Ke depan apabila dibutuhkan infrastruktur untuk implementasi Bio CNG tersebut terdapat peluang untuk dilakukan. Pembangunan jaringan gas (jargas), program infrastruktur yang dilakukan oleh Ditjen Migas, tidak mustahil dibangun untuk Bio CNG, apabila sudah mendesak atau perlu dilakukan fasilitasi implementasi Bio CNG untuk kebutuhan rumah tangga.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan CNG Indonesia (APCNGI) Dian Kuncoro mengungkapkan, investasi untuk distribusi dan infrastruktur pemanfaatan CNG membutuhkan biaya investasi yang lebih mahal dibandingkan dengan LPG. Hal itu disebabkan oleh karakteristik keduanya yang berbeda.

Misalnya, CNG memiliki tekanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan LPG sehingga untuk mengangkutnya ke pelanggan (industri) membutuhkan material tabung yang lebih kuat. Hal ini berdampak pada ongkos dari sisi material menjadi lebih mahal menjadi sekitar US$ 10-US$ 13 per MMBTU. 

"Cost dari biogas untuk jadi gas berapa, yang belum jadi bio-CNG? Apakah bisa US$ 6-US$ 7 per MMBTU (Biaya pengolahan) ini harus punya nilai kompetisi dengan harga gas pipa," tutup Dian.

Selanjutnya: Gagas Energi siap dorong penyaluran gas bumi untuk sektor industri dan komersial

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .