Kementerian ESDM Evaluasi Harga Batubara Acuan (HBA), Ini Alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif menjelaskan saat ini pihaknya tengah mengevaluasi Harga Batubara Acuan (HBA) karena disparitas harga ekspor dan HBA/HPB yang semakin melebar. 

“Kami lagi lakukan evaluasi karena sebelumnya kita memang sudah pakai empat index. ternyata empat index ini gap-nya terlalu tinggi. Tapi kan kita sebetulnya mau realitasnya gimana,” jelasnya saat ditemui di Gedung DPR RI, Selasa (24/1). 

Asal tahu saja mekanisme HBA yang saat ini diterapkan melalui 4 indeks yakni Globalcoal Newcastle Index (GCNC), Newcastle Export Index (NEX), Index Platts dan Indonesia Coal Index (ICI). Adapun dua indeks di antaranya menggunakan indeks Australia yakni Newcastle Index dan NEX. 


Maka itu, untuk menangani hal ini, Arifin mengungkapkan Kementerian ESDM dalam tahap mengevaluasi HBA. 

Baca Juga: Pengamat Kritik Skema Power Wheeling untuk Fasilitasi Energi Baru dan Terbarukan

Sebelumnya,  Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengharapkan Pemerintah dapat segera merevisi formula Harga Acuan Batubara (HBA). Sejak Oktober 2021 disparitas HBA dengan harga jual aktual ekspor sudah semakin melebar. 

“Revisi sangat urgent agar HBA/HPB bisa mewakili harga pasar. Kondisi ini menyulitkan perusahaan karena membayar kewajiban royalti jauh lebih tinggi, apalagi kenaikan pajak royalti batubara sudah diterapkan,” jelasnya kepada Kontan.co.id beberapa waktu lalu. 

Adapun revisi HBA ini juga dirasa penting sebelum melaksanakan Badan Layanan Umum (BLU) Batubara. Hendra mengatakan, revisi HBA untuk menjamin mekanisme BLU yang adil bagi pelaku usaha tentu agar pajak royalti yang dikenakan mendekati harga jual aktual. 

Dalam membicarakan perihal BLU, Hendra menjelaskan, APBI sudah menyampaikan perhatian pelaku usaha dan mengharapkan agar BLU dapat menjamin kesetaraan serta mempertimbangkan formula HBA yang sudah tidak mencerminkan harga jual riil. 

Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF). Singgih Widagdo pernah menjelaskan, 50% harga HBA Indonesia terpengaruh langsung tingginya indeks batubara Australia yang terdorong dari kondisi harga emas hitam yang naik tajam di Eropa. 

Sedangkan China dan India yang menyerap 54% batubara dari Indonesia tentu tidak sependapat dengan penawaran harga batubara Indonesia yang naiknya tidak riil kalau didasarkan HPB.

Di satu sisi, Perusahaan tambang menjual batubara dengan harga Indonesia Coal Index (ICI), namun Pemerintah menghitung pajak royalti dengan HBA. Nah harga HBA lebih tinggi 80%-90% daripada harga ICI dan menyebabkan pajak royalti yang dibayar 80%-90% lebih tinggi daripada yang seharusnya.

Misalnya saja, Perusahaan A menjual batubara dengan GAR 4.190 sehingga dikenakan pajak royalti senilai 8%. Adapun harga ICI di level US$ 90/ton sedangkan HBA senilai US$ 165/ton. Maka pajak royalti yang wajib dibayar Perusahaan A senilai US$ 13,2/ton (US$ 165/ton x 8%). Sedangkan seharusnya Perusahaan A hanya membayar US$ 7,2/ton (US$ 90/ton x 8%). 

“Artinya perusahaan tambang batubara membayar extra US$ 5/ton or 83% lebih tinggi, artinya Aktual Royalty Tax bukan 8% tapi 14,67% dari Harga Jual,” jelas Singgih. 

Menurut Singgih, Kementerian ESDM tidak juga terlalu salah karena di saat terjepit dengan kondisi keuangan negara, pemerintah mau mempertahankan PNBP dari sektor batubara. Caranya menahan pemasukan ini dengan mengambil langkah seperti ini dibandingkan mengeluarkan windfall tax. 

Baca Juga: Kendaraan Listrik Disubsidi Pemerintah, Ini Prospek Saham Vale (INCO)

“Seberapa lama ESDM akan melakukan koreksi, tentu tergantung pada level indeks harga yang bagi perusahaan tetap sehat dan PNBP tetap meningkat. Bukan sebatas objektivitas rasional perhitungan semata, keseimbangan kepentingan oleh Pemerintah dan industri menjadi poin terpenting,” ujarnya. 

Maka itu, ke depannya menurut Singgih, jika HBA akan dikoreksi maka dua hal penting yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah berani membentuk Indonesia Government Coal Index. Panel bisa saja dibentuk dari perwakilan produsen, trader, analis, dan lainnya.

“Sebagai eksportir terbesar dunia, kedaulatan semestinya bersamaan terbangun. Ini penting mengingat pada dasarnya formulasi HBA menjadi tidak riil saat ini,” ujarnya. 

Kedua, India dan China di tahun 2025 atau 2026 akan membatasi pemanfaatan batubara di level 1,3 miliar ton dan 4,3  miliar ton dan bersamaan terus memperbesar produksi batubara nasional. Menurut SInggih, di 2025 menjadi tahun kritikal Indonesia. Penurunan impor dari kedua negara tersebut yang tidak terkendali akan merugikan Indonesia, yang notabene industri terbangun dari ratusan IUP. 

Singgih menilai, resiko bukan saja penurunan harga, tapi penurunan produksi dan bahkan sampai matinya beberapa IUP yang menyebabkan rusaknya lingkungan. Sehingga menurutnya, Pemerintah membentuk Tim yang terus memperkuat relasi pemerintah dengan pemerintah dalam meletakkan permasalahan impor ke dua negara ini dalam membatasi pemanfaatan batubara menuju arah Net Zero Emission India di 2070 dan China di 2060.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi