Kementerian ESDM gandeng Kementerian Kelautan kembangkan PLTS cold storage



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengembangkan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk lemari pendingin di sektor perikanan. Tujuannya untuk menunjang kegiatan perekonomian berbasis kemaritiman dengan melibatkan Kementerian terkait.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris Yahya menyampaikan, saat ini pihaknya sedang berproses untuk membuat pilot project PLTS cold storage dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Selama ini, cold storage yang dikelola KKP masih mengandalkan sumber tenaga dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Pembuatan PLTS cold storage yang memanfaatkan sumber energi baru terbarukan (EBT) akan meningkatkan efisiensi sekaligus mengurangi biaya pengeluaran.


Baca Juga: Pemerintah berupaya gali peluang pengembangan EBT di era kenormalan baru

Harris menjelaskan, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM sedang menyusun program pengembangan klaster ekonomi maritim dengan melakukan identifikasi potensi pengembangan EBT hingga pembahasan bentuk usaha penyediaan tenaga listrik.

"Diharapkan program ini dapat selesai di bulan Agustus 2020 nanti," kata Harris dalam siaran pers di situs Kementerian ESDM, Selasa (16/6).

Khusus di sektor kelautan dan perikanan, cold storage menjadi salah satu yang paling potensial untuk digarap dengan memanfaatkan energi surya. Dari data yang ada, tercatat sebanyak enam perusahaan memiliki cold storage dengan total kapasitas 3.850 ton dan membutuhkan setrum listrik sebesar 1.721 kVA.

"Semoga manfaat EBT ini bisa meningkatkan kesejahteraan dan akses listrik kepada masyarakat," tutur Harris.

Potensi lain yang bisa dikembangkan dalam skala mikro adalah PLTS Atap. Kondisi ini semakin dipermudah dengan kemudahan mekanisme yang diberikan oleh pemerintah dalam membangun pembangkit tersebut.

"Di Indonesia, mekanismenya sangat sederhana. Hanya memasang meteran Solar PV Rooftop dan meteran ekspor-impor. Selisih ekspor-impor itulah yang akan dibayar oleh pelanggan," jelas Harris.

Sebagai informasi, minat masyarakat terhadap produk PLTS Atap terus mengalami pertumbuhan signifikan. Hingga akhir Desember 2019, tercatat ada lebih dari 900 pelanggan baru dari total 1.673 pelanggan PLTS Atap sejak peraturan tersebut diterbitkan pada bulan Desember 2018.

Harris melanjutkan, pengembangan EBT di Indonesia sangat mungkin untuk dipercepat di tengah pandemi Covid-19. Alhasil, target tambahan kapasitas pembangkit EBT sebanyak 9.000 MW di tahun 2024 bisa tercapai. Jumlah itu meliputi peningkatan kapasitas pembangkit hidro sebesar 3.900 MW, bioenergi 1.200 MW, panas bumi 1.000 MW, dan panel surya 2.000 MW.

"Satu kondisi yang memperlihatkan bahwa kita saat ini fokus mengembangkan EBT termasuk yang intermiten. Solar PV atau panel surya kalau kita lihat secara global harganya semakin turun, biaya implementasinya juga semakin murah," papar Harris.

Kata dia, Kementerian ESDM sedang berproses untuk restructure dan refocusing karena selama ini perkembangan memang belum berjalan optimal untuk EBT.

Di samping itu, pengembangan EBT di Indonesia seringkali masih mengacu pada RUPTL PLN. Padahal, di luar dari apa yang sudah direncanakan oleh PLN, ada potensi lain yang bisa dikembangkan.

Makanya, pemerintah mendorong supaya pengembangan EBT di Indonesia bisa dilakukan secara komersial dan nonkomersial. "Contohnya di Kalimantan Utara terdapat potensi EBT yang sangat besar yang jika dikembangkan bisa mencapai 9.000 MW hanya dengan mengimplementasikan PLTA secara cash cap di dalam satu aliran sungai," imbuh Harris.

Baca Juga: Temui sejumlah kendala, Kementerian ESDM belum revisi target panas bumi tahun ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat