Kementerian ESDM menargetkan produksi 490 juta ton tahun ini



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) untuk subsektor batubara. Dalam RKAB tahun 2019 itu, produksi batubara nasional ditargetkan berada di angka 490 juta ton.

Jumlah itu naik dari target produksi pada RKAB tahun lalu yang sebesar 485 juta ton. Namun, turun dibandingkan realisasi produksi tahun 2018 yang berada di angka 528 juta ton. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, target produksi sebesar 490 juta ton sudah ditandatangani olehnya.

Angka itu terdiri dari 390 juta ton untuk perusahaan pemegang izin pusat yakni Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) , Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP) BUMN, IUP OP PMA. Serta sisanya sebanyak 100 juta ton untuk IUP daerah. "Sudah saya tanda tangan. Angka tepatnya saya tidak hafal tapi sekitar 490-an juta ton," katanya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jum'at (8/2).


Asal tahu saja, realisasi produksi batubara tahun lalu lebih tinggi dari target RKAB, sebab pada bulan September, Kementerian ESDM membuka tambahan kuota produksi batubara sebanyak 100 juta ton. Meski tak semuanya terpakai, namun tambahan itu signifikan mendongkrak realisasi produksi.

Dalam hal ini, Bambang tak menampik bahwa pada tahun ini, kemungkinan untuk membuka tambahan kuota produksi tetap terbuka. Hal itu dimungkikan dengan mempertimbang sejumlah faktor, seperti laporan realisasi produksi perusahaan hingga jika dibutuhkan untuk menggenjot ekspor guna mendongkrak penerimaan negara.

Bambang bilang, hal itu baru bisa dilihat pada bulan Juni saat revisi RKAB dilakukan. "Ya kita lihat dulu nanti Juni realisasinya seperti apa. Revisi kan batasnya Juni," jelasnya.

Di samping itu, Bambang juga menerangkan bahwa target produksi batubara tahun ini sejatinya bisa saja di atas 490 juta ton. Namun, dengan mempertimbangkan sanksi bagi perusahaan yang pada tahun lalu tidak memenuhi kewajiban Domestic Market Obligation (DMO), perhitungan produksi jadi berada di angka tersebut.

Sebab, lanjut Bambang, bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DMO sebesar 25% dari produksi sepanjang tahun lalu, permohonan produksi yang diajukan perusahaan untuk tahun ini tidak sepenuhnya dipenuhi oleh pemerintah.

Asal tahu saja, sepanjang tahun lalu, sebanyak 34 perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DMO. "Itu sudah menghitung yang kita cut karena DMO-nya kurang. Termasuk (IUP) Daerah kita kasih 100-an juta ton karena DMO nya banyak yang kurang," terang Bambang. Besaran DMO Belum Ditentukan

Adapun, untuk besaran DMO tahun ini, Bambang mengatakan bahwa pihaknya belum bisa menentukan besaran yang akan diwajibkan. Sebab, kata Bambang, saat ini Kementerian ESDM masih menghitung kebutuhan batubara domestik, khususnya untuk kelistrikan baik bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun non-PLN.

"DMO masih dihitung, berapa persen-nya masih kita lihat dari total kebutuhan. Kalau sudah ketemu baru (ditentukan) persentasenya berapa," ujarnya.

Sebagai informasi, pada tahun lalu, kewajiban DMO dipatok sebesar 25% dari target produksi. Sehingga secara nasional, target DMO tahun 2018 sebesar 121 juta ton dari 485 juta ton target produksi di RKAB.

Namun, hingga akhir tahun, target DMO tidak terpenuhi. Bukan semata-mata karena ada perusahaan yang tidak memenuhi, namun karena serapan batubara domestik yang masih di bawah target tersebut.

Sepanjang tahun lalu, serapan DMO tercatat hanya menyentuh angka 115,09 juta ton atau hanya sekitar 23% dari target produksi di RKAB. Pada saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI pada awal Januari lalu, Bambang merinci bahwa dari realisasi DMO itu, sebesar 91,14 juta ton diserap untuk kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), sebanyak 1,75 juta ton untuk industri metalurgi, sebesar 22,18 juta ton untuk industri pupuk, semen, tekstik dan kertas, serta 0,01 juta ton digunakan untuk briket.

Pada kesempatan yang sama, Bambang mengatakan bahwa perkiraan DMO untuk tahun ini bisa naik menjadi 128,08 juta ton. Lantaran memperhitungkan kebutuhan batubara PLN yang bertambah karena ada sejumlah PLTU yang beroperasi.

Hal itu pun diakui oleh PLN. Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso mengungkapkan, pada tahun ini PLN membutuhkan sekitar 96 juta ton batubara. Jumlah itu naik sebanyak 5% dari realisasi serapan tahun lalu yang sebesar 91,1 juta ton.

Penambahan itu, kata Iwan, dibutuhkan karena pada tahun ini setidaknya ada tiga PLTU baru berkapasitas besar yang akan beroperasi. Antara lain berasal dari PLTU Jawa 7 dan Jawa 8 masing-masing berkapasitas 1.000 MW dan PLTU Lontar dengan kapasitas 350 MW.

Terkait dengan hal ini, Iwan mengakui bahwa PLN masih mengandalkan kebijakan DMO Batubara yang mematok harga di angka US$ 70 per ton. Iwan bilang, kebijakaan tersebut sangat membantu PLN untuk mecapai titik keseimbangan di tengah fluktuasi harga energi primer dan kebijakan untuk tidak menaikan tarif listrik. "Kan tarif listrik nggak boleh naik, berarti energi primernya ya disesuaikan," ungkapnya.

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, pemerintah memang perlu mempertimbangkan kembali volume DMO sebesar 25%. Hendra menilai, meski meningkat, namun kebutuhan batubara PLN pada tahun ini tidak naik signifikan, begitu juga dengan demand dari pasar domestik.

"Pemerintah perlu mempertimbangkan lagi besaran 25% karena realisasi tahun lalu di bawah itu, dan demand domestik meski meningkat tapi belum signifikan," kata Hendr.

Namun, untuk target produksi batubara tahun ini yang mencapai 490 juta ton, Hendra menilai angka tersebut cukup realistis dengan memperhatikan demand seara global. "Jika dibandingkan realisasi produksi tahun lalu yang 528 juta ton, angka ini cukup realistis mengingat demand global diperkirakan masih flat," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini