Kementerian ESDM Resmikan Perdagangan Karbon PLTU dengan Potensi 500 Ribu Ton CO2e



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi meluncurkan fitur perdagangan karbon untuk subsektor ketenagalistrikan.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jisman Hutajulu mengungkapkan, perdagangan karbon akan menggunakan mekanisme perdagangan langsung untuk 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari 42 perusahaan.

Merujuk perhitungan Kementerian ESDM, potensi emisi yang dihasilkan dari 99 pembangkit ini mencapai 20 juta ton CO2e di mana potensi yang bisa diperdagangkan mencapai 500 ribu ton CO2e.


Baca Juga: Menkeu Sebut Pajak Karbon Bikin Investasi RI Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

"Ini perdagangan langsung, antara pembangkit tapi beda entitas. Nanti dibantu APPLE-Gatrik untuk melaporkan," ungkap Jisman di Kementerian ESDM, Rabu (22/2).

Mengutip Video Paparan Kementerian ESDM, web APPLE-Gatrik menyediakan fitur perdagangan karbon untuk memfasilitasi pelaku usaha subsektor ketenagalistrikan melakukan transaksi jual beli karbon.

Meski demikian, Jisman memastikan pihaknya juga tengah berkordinasi dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memungkinkan perdagangan karbon melalui mekanisme di bawah naungan BEI.

Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan M. P. Dwinugroho mengungkapkan, proses pembentukan bursa karbon masih berjalan. Adapun, perdagangan karbon melalui bursa karbon juga untuk memungkinkan pembelian dari investor luar negeri.

Dwinugroho menjelaskan, range harga yang ditetapkan untuk emisi yang diperdagangkan ditentukan oleh Kementerian Keuangan. Meski demikian, dari kajian yang dilakukan, kisaran harga yang dikenakan sebesar US$ 2 hingga US$ 18 per ton CO2e.

"Kalau antara internasional bisa US$ 2 hingga US$ 99 per ton CO2e. Pajaknya bisa sampai US$ 135 sampai US$ 137 per ton CO2e," terang Dwinugroho.

Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik. Aturan ini menjadi acuan untuk nilai ekonomi karbon.

Untuk tahun ini, Kementerian ESDM telah menetapkan nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) kepada 99 pembangkit dari 42 perusahaan.

Nantinya, pembangkit yang menghasilkan emisi melebihi PTBAE-PU diwajibkan membeli emisi dari pembangkit yang menghasilkan emisi di bawah PTBAE-PU ataupun membeli Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPEGRK).

Kontan mencatat, Pelaksanaan PTBAE pembangkit tenaga listrik akan dilaksanakan pada 3 fase, yaitu fase I pada tahun 2023 sampai dengan tahun 2024, fase II pada tahun 2025-2027 dan fase III pada tahun 2027-2030. Sedangkan untuk fase setelah tahun 2030 akan dilaksanakan sesuai dengan target pengendalian emisi GRK Sektor Energi.

Baca Juga: SKK Migas: Sejumlah Proyek Injeksi Karbon dalam Tahap Studi dan Persiapan

Adapun, PTBAE pada fase I hanya berlaku pada PLTU batubara yang terdiri dari 4 kategori, meliputi:

1. PLTU nonmulut tambang dan PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 25 MW sampai dengan kurang dari 100 MW dengan nilai PTBAE sebesar 1,297 ton CO2e/MWh.

2. PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW dengan nilai PTBAE sebesar 1,089 ton CO2e/MWh;

3. PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW sampai dengan kurang dari atau sama dengan 400 MW dengan nilai PTBAE sebesar 1,011 ton CO2e /MWh; dan

4. PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari 400 MW; dan PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW dengan nilai PTBAE sebesar 0,911 ton CO2e /MWh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .