Kemhub sebut butuh kajian mendalam untuk jadikan O-Bahn transportasi massal



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. O-Bahn menjadi salah satu angkutan massal yang dicanangkan menjadi transportasi alternatif di perkotaan. Meski begitu, Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setyadi mengatakan O-Bahn masih perlu dikaji lebih dalam.

"Untuk mendalami ini masih panjang menurut saya. Saya sedang mengajukan pada pak Menteri, kalau diizinkan, saya akan melihat negara atau kota yang sudah menggunakan O-Bahn ini," ujar Budi, Selasa (25/6).

Dia mengatakan, terdapat beberapa negara seperti China, Jerman dan Australia yang sudah menggunakan angkutan massal ini. Tetapi menurutnya, Australia menjadi negara yang dipilih untuk melihat seperti apa kelebihan dan kekurangan O-Bahn.


Budi mengakui, dari sisi harga, O-Bahn memang membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan Bus Rapid Transit (BRT). Namun, dari sisi kapasitas, O-Bahn bisa menampung penumpang lebih banyak dibandingkan BRT tetapi lebih kecil dibandingkan Light Rapid Transit (LRT).

"Pasti lebih kecil dibandingkan LRT, tetapi LRT kan lebih mahal. Kita melihat dulu, baru kita lakukan FGD, kajian, dan sebagainya. Saya belum bisa mengatakan di kota mana cocoknya, berapa anggarannya, belum sampai ke sana," tutur Budi.

Sementara itu, Pengamat Transportasi Djoko Setijowarjono mengatakan, sebaiknya mengabaikan wacana pemerintah untuk mengoperasikan O-Bahn. Menurutnya,hal ini berhubungan dengan keterbatasan keuangan negara dan kemampuan fiskal daerah juga terkait pemerintah daerah yang belum tentu mau menerima konsep tersebut.

"Regulasi untuk menerapkannya belum ada. Bisa jadi masalah baru jika belum dilengkapi dengan regulasi. Teknologi yang tidak murah, masih asing di Indonesia, butuh waktu menyiapkan prasarana pendukung dan mempelajari teknologinya. Untuk lima tahun ke depan cukup sebagai wacana saja," kata Djoko.

Dia melanjutkan, di tahun mendatang Kemhub akan meluncurkan program penataan angkutan umum di daerah dengan konsep pembelian layanan atau buy the service di 6 perkotaan, yakni Medan, Palembang, Solo, Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar.

Menurutnya Djoko bila program ini ingin dilaksanakan pada 2020 maka harus dipersiapkan dari sekarang. Djoko berpendapat, Program ini tidak akan banyak menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha angkutan umum jika sedini mungkin dilakukan sosialisasi.

Program tersebut pun lebih murah karena setiap koridor menghabiskan biaya operasional per tahun kisaran Rp 15 miliar hingga Rp 25 miliar. Selain itu tak perlu diadakan pembangunan prasarana khusus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli