Kemkes terus menghambat RUU Pertembakauan



JAKARTA. Walau sudah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2017, Kementerian Kesehatan (Kemkes) tetap menolak Rancanangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertembakauan.

Kemkes menilai, RUU tersebut bertolak belakang dengan peta jalan atau road map tentang kesehatan khususnya terkait pengurangan jumlah perokok pemula. Selain itu, merokok merupakan penyakit jenis katastropik atau penyakit dengan berbiaya penggobatan tinggi.

Olah karena itu, pasca ditetapkan sebagai RUU prioritas, belum lama ini Kemkes menyurati Presiden Joko Widodo agar mempertimbangkan masukan Kemkes atas poin-poin yang tidak dapat dikompromikan dalam urusan kesehatan yang berkaitan dengan rokok.


Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemkes M Subuh mengatakan, beberapa masukan tersebut antara lain berkaitan dengan iklan rokok yang tidak boleh bebas. Gambar kemasan peringatan yang besarannya mencapai 80% dari luasan bungkus rokok. Serta, penolakan penghapusan kawasan tanpa rokok.

Subuh menambahkan, dibandingkan dengan rancangan beleid lainnya, pembahasan RUU tentang Pertembakauan ini belum terlalu mendesak pada saat ini. "Menteri (Kesehatan) sudah kirim surat ke Presiden, poin-poin dari Kemkes untuk dipertimbangkan," kata Subuh, Kamis (29/12).

Tingginya penerimaan negara dari cukai rokok yang jumlahnya Rp 115 triliun tidak dapat menutupi dampak negatif dari merokok. Subur bilang, merokok masuk dalam empat penyebab penyakit katastropik di Indonesia.

Barlian, Kepala Biro dan Organisasi Kemkes menambahkan, selain kepada Presiden pihaknya juga akan mengirim surat tanggapan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berisi penolakan atas masuknya RUU tentang Pertembakauan masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun depan.

Sumitro Samadikun petani Tembakau asal Jawa Timur mengatakan, pihaknya sangat mendukung RUU Pertembakauan bila isinya melindungi petani. Selama ini tembakau menjadi mata pencaharian utama di beberapa wilayah di Indonesia. "Di negara-negara maju pun juga memproduksi tembakau. Jadi kenapa harus dilarang-larang," kata Sumitro.

Petani khawatir, bila tidak dilakukan perlindungan, tidak menutup kemungkinan tembakau lokal akan musnah. Sehingga, diisi oleh tembakau impor yang tidak lain diproduksi oleh negara-negaa maju. Padahal, bila dibandingkan dengan komditas lainnya tembakau lebih memiliki nilai jual yang tinggi.

Sebelumnya, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Ismanu Soemiran mengungkapkan, petani dalam negeri baru mampu memenuhi kurang dari 50% dari total kebutuhan industri rokok. Untuk itu, rencana DPR melalui RUU Pertembakauan yang membatasi tembakau impor maksimal hanya 20% dari total kebutuhan dan pengenaan bea masuk tembakau impor yang sangat tinggi akan sangat menyulitkan industri.

Terlebih lagi jika wacana pengenaan cukai tiga kali lipat bagi rokok yang menggunakan tembakau impor diterapkan, maka salah satu dampaknya adalah kenaikan harga rokok yang luar biasa di Indonesia. Hal ini tentunya akan berimbas pada penurunan daya beli masyarakat terhadap produk hasil tembakau.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto